Minggu, 19 Mei 2019

Perda Masyarakat Adat Selamatkan Meratus dan Kehidupan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah



Senin, tanggal 20 Mei 2019 di Kantor Bupati Hulu Sungai Tengah, Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kabupaten Hulu Sungai Tengah menyerahkan Petunjuk Teknis untuk Tim Panitia Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sebagai bahan referensi panduan untuk proses identifikasi, verifikasi, dan validasi lapangan.
"Tim akan mulai bergerak setelah lebaran nanti", sambutan baik dari Bapak Bupati Hulu Sungai Tengah. "Dan akan ada rapat Tim terkait proses turun ke lapangan", kata Ibu Kamsinah Kabag Hukum Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Bapak Ainurafiq Asisten I.
Proses menuju Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Hulu Sungai Tengah melalui kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang membawa mandat dari Tokoh dan Tetua Adat akan memberi harapan baru akan segera terwujud. Setelah 6 tahun lamanya, sejak tahun 2013 hingga sekarang terus mengusulkan dan mendorong Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, tahun 2018 masuk Prolegda namun belum bisa dibahas dan tahun 2019 telah memperoleh Surat Keputusan Bupati No 140/90/411.43 tentang Pembentukan Panitia Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Perda Masyarakat Adat diantara lain bertujuan untuk adanya pengakuan oleh Pemerintah Daerah tentang keberadaan Masyarakat Adat, serta pengembalian dan kepastian hak atas wilayah/hutan adat, sehingga tidak ada lagi (meminimalkan) penetapan-penetapan status kawasan hutan di wilayah Masyarakat Adat yang diberikan tanpa sepengetahuan atau persetujuan dari masyarakat setempat. Selain itu, penguatan kelembagaan adat dalam pemerintahan dapat berjalan seimbang dalam mengelola kehidupan Masyarakat Adat. Serta Masyarakat Adat dapat memperoleh hak-hak dalam mengelola dan mengembangkan sendiri berbagai potensi yang ada di wilayahnya. Kerjasama antara Pemerintah dengan Masyarakat pun dapat meringankan beban dalam hal kontrol terhadap perlindungan kawasan Pegunungan Meratus yang tidak lain adalah Wilayah Masyarakat Adat itu sendiri.
"Sangat penting bisa kita pikirkan bersama-sama tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Hulu Sungai Tengah ini untuk keberlangsungan hidup masa depan anak cucu kita dan menyelamatkan kehidupan sekarang hingga nanti. Bagaimana kita menjaga warisan nenek moyang atau leluhur kita, sehingga keseimbangan alam dan isinya bisa selalu kita jaga dan lestarikan." paparan Ketua BPH AMAN HST Rubi. "

Tabi-tabi Maeh Sidi Sagalaan.
Salam Berdaulat, Mandiri, dan Bermartabat.

Penulis: Buletin AMAN HST

Sabtu, 18 Mei 2019

Legenda Datu Ayuh, Intingan, dan Kapala Pitu

Sumber: http://catatansinalinali.blogspot.com/2017/12/cerita-rakyat-dayak-meratus.html?m=1

Legenda "KAPALA PITU".

Sebuah cerita rakyat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan, versi orang Belanda.
Oleh : C.W Schűller, seorang staf pegawai controleur Belanda yang pernah bertugas di salah satu onderafdeeling di Hoeloe Soengai.
*******
Dahulu kala di pegunungan Meratus ada seorang putri bernama "Putri Bungsu". Dia anak seorang kepala suku Dayak yang menikah dengan  "Datu Makar" dari kampung Panggungan Loksado. Dan dari pernikahannya mereka dikaruniai seorang putra.

Pada saat kemarau panjang melanda kampung mereka, sungai Amandit yang selama ini menjadi urat nadi kehidupan mereka mengalami kekeringan. Hal ini membuat derita dan kesulitan yang luar biasa bagi orang yang hidup di kampung itu, sehingga memaksa Datu Makar dan Putri Bungsu mengembara untuk mencari sumber air lain. Dalam pengembaraannya pasutri ini membawa anak mereka, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya demi mendapatkan sumber air. Mereka terus mencari dan mencari, namun belum juga mendapatkannya, hingga akhirnya mereka sampai ke sebuah danau di tengah pegunungan yang juga kering di "TANAH ALAI" (Batang Alai kabupaten Hulu Sungai Tengah). Beberapa saat kemudian Putri Bungsu mendengar ada suara katak, sejenak ia berpikir, "biasanya katak hidupnya tidak bisa jauh dari air", lalu ia berkesimpulan bahwa dibalik permukaan lumpur dasar danau yang kering itu terdapat sumber mata air. Dia pun menyuruh suaminya untuk menggalinya. Dengan dibantu istrinya, Datu Makar mulai menggali dasar danau, sementara anak mereka dibiarkan bermain sendirian di bibir danau.
Di tengah mereka sibuk melakukan pekerjaannya, tiba-tiba air menyembur dengan dahsyatnya keluar dari tanah yang mereka gali. Dalam sekejap air memenuhi bahkan meluber dari danau tersebut hingga menyeret anak mereka yang sedang asik bermain di bibir danau. Datu Makar dan istrinya bergegas berusaha menolong anaknya yang menangis terseret air. Berbagai cara mereka dilakukan, namun usaha mereka selalu gagal, sang anak pun lenyap bersama derasnya arus air. Hal ini membuat keduanya menangis dan bersedih di tempat itu selama puluhan tahun.
*******
Sementara itu, anak mereka terus hanyut dibawa air, setiap kali kepala sang anak terbentur batu, maka tumbuh sebuah kepala baru, hingga akhirnya hanyut sampai ke laut sang anak memiliki tujuh buah kepala yang dalam bahasa setempat disebut "KAPALA PITU".
Puluhan tahun Kapala Pitu tinggal di tepi laut dan tidak pernah diketahui orang. Di sini ia melakukan pertapaan hingga ia mendapatkan kesaktian berupa air liur dan kata sumpah yang bisa merubah sesuatu menjadi batu.
Sampai suatu saat ia teringat akan orang tuanya dan berniat untuk mencarinya.
*******
Dia mulai berjalan kaki menaiki gunung untuk mencari kedua orang tuanya, hingga akhirnya ia sampai di sebuah kampung yang terletak di pinggir sungai. Di kampung ini berdiri sebuah "BALAI" (rumah adat besar Dayak Meratus yang dihuni beberapa kepala keluarga) yang salah satu penghuninya adalah SANG PIATU anak dari seorang perempuan miskin yang bernama RANGDA BALU. Setiap hari Sang Piatu bolak balik ke kota dengan menggunakan sebuah "BENAWA" (perahu berkepada naga khas suku Banjar) untuk menjual hasil kebun dan hutan yang kemudian uangnya digunakan untuk membeli keperluan sehari-hari.
Kapala Pitu bertanya kepada Sang Piatu tentang siapa pemilik balai tersebut, Sang Piatu menjawab dengan angkuh, bahwa balai itu miliknya, mendengar jawaban itu, Kapala Pitu sangat marah karena merasa dibohongi oleh Sang Piatu si anak miskin , lalu ia meludahi dan mengutuk Sang Piatu, ibunya, benawa dan hewan peliharaannya menjadi batu. Yang di kemudian hari bernama : BATU LAKI, BATU BINI, BATU BENAWA, BATU HAYAM, BARU BABI dan lain-lain.

Masih dalam keadaan kesal dan marah, Kapala Pitu meneruskan perjalanannya, di tengah perjalanan ia bertemu dengan wanita hamil yang sedang mandi di sungai, ia pun lantas bertanya tentang orang tuanya. Wanita itu menjawab "tidak tahu", maka Kapala Pitu meludahinya lalu mengucapkan kata kutukan : "Pui !! Jadi batu !!". Maka wanita itu pun berubah menjadi batu, yang kemudian dikenal dengan nama BATU BATIAN.

Kapala Pitu terus berjalan, kali ini ia memasuki sebuah kampung yang banyak terdapat tumpukan tulang, lantaran penduduknya tewas semua akibat serangan wabah penyakit, kemudian ia meludahi tumpukan tulang itu dan menyihirnya menjadi batu, maka kampung itupun bernama "BATU TIMBUN TULANG".

Hingga akhirnya Kapala Pitu sampai ke sebuah kampung yang didiami oleh Datu Palui yang sebelumnya telah mendengar berita, bahwa ada orang sakti berkepala tujuh yang sedang mencari kedua orangtuanya, dan ia akan meludahi serta mengutuk siapa saja yang tidak bisa menunjukkan tempat keberadaan orangtuanya menjadi batu.
(Menurut masyarakat Dayak Meratus namanya bukan Datu Palui tapi Datu Ayuh/Dayuhan... entah kenapa orang Belanda menulisnya Datu Palui.
Dalam cerita ini saya menggunakan "DATU PALUI" karena itu teks aslinya).

Kapala Pitu memanggil-manggil penghuni kampung, namun tidak ada seorangpun yang menyahutnya. Sementara itu, Datu Palui mengintip gerak-gerik Kapala Pitu dari celah lobang dalam rumahnya.
Lantaran tidak ada jawaban, Kapala Pitu pun mulai meludahi rumah dan mengubahnya menjadi batu. Melihat hal ini, Datu Palui segera keluar rumah dan berlari sambil teriak memanggil Kapala Pitu. Ini untuk memancing agar Kapala Pitu mau mengikutinya sehingga kampungnya terhindar dari kehancuran karena kutukan Kapala Pitu. Dan usahanya pun berhasil.

Datu Palui terus berlari dalam kejaran Kapala Pitu mendatangi adiknya yang bernama Intingan yang tinggal di kampung lain untuk memberi tahukan kedatangan Kapala Pitu dan sekaligus untuk meminta bantuan dalam menghadapinya.
*******

Datu Palui dan Intingan lari ke dalam hutan sambil berpikir bagaimana cara yang tepat untuk membunuh Kapala Pitu ??
Awalnya mereka berdua menebang pohon Binuang besar, mereka berharap nantinya ketika pohon itu roboh menimpa Kapala Pitu, namun sebelum pohon itu tumbang, Kapala Pitu keburu datang dan meludahi mereka, tapi cepat-cepat keduanya menyekanya sebelum sempat Kapala Pitu mengucapkan kutukannya, sehingga mereka terhindar menjadi batu.

Datu Palui dan Intingan terus berlari dari gunung ke gunung, dari hutan ke hutan untuk menghindar dari kejaran Kapala Pitu. Dalam sebuah hutan mereka bertemu dengan sebatang pohon Upas, lalu mereka bertanya padanya : "Seberapa dahsyat racun yang terkandung dalam getah pohonmu ?". Pohon Upas menjawab : "Getahku ini mampu membunuh orang dalam waktu 1 jam". Mereka pun mengambil getah pohonnya.
Kemudian mereka berpindah ke pohon-pohon lainnya dan selalu bertanya tentang kedahsyatan racunnya, ini mereka lakukan untuk mencari getah racun yang lebih cepat mematikan. Usaha mereka berhasil, mereka menemukan 2 macam getah pohon beracun, yang satu mampu membuat orang mati dalam 7 menit dan satunya lagi hanya dalam hitungan detik. Ketiga getah racun ini mereka kombinasikan menjadi satu, hingga menghasilkan ramuan racun yang sangat mematikan dan kemudian mereka oleskan pada anak sumpit

Datu Palui dan Intingan pergi ke danau tempat Putri Bungsu dan Datu Makar (orang tua Kapala Pitu) tinggal. Ternyata Kapala Pitu sudah ada di sana, ia menyatakan kepada Putri Bungsu dan Datu Makar kalau ia adalah anak mereka. Lantaran ia memiliki kepala tujuh, maka mereka berdua tidak mengenalinya. Hal ini membuat Kapala Pitu marah, hingga ia meludahi dan mengutuk kedua orang tuanya menjadi batu.

Datu Palui dan Intingan menghadang Kapala Pitu di sebuah jalan yang akan dilewati Kapala Pitu. Mereka bersembunyi di kedua sisi jalan dengan bersenjatakan sumpit. Tak lama kemudian, Kapala Pitu muncul sambil ketujuh kepalanya berbicara satu sama lainnya. Pada saat mulutnya terbuka, mereka menyumpitnya hinggal kedua anak sumpit yang telah diolesi getah racun itu masuk ke dalam mulut dan mengenai tenggorokannya. Kapala Pitu sempat meludah, namun beberapa detik kemudian ia roboh dan mati sebelum sempat melontarkan kata-kata kutukannya.... SEKIAN.
*******
Cerita ini disadur dari buletin "TROPISCH NEDERLAND" yang terbit pada tanggal 30 Juni 1930 dan diterjemahkan dengan "GOOGLE TERJEMAHAN".....

Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Meratus, jasad Kapala Pitu kemudian berubah menjadi "Gunung Kapala Pitu".
Puncaknya berada di ketinggian 1474 meter dari permukaan laut.

Penulis menambahkan, sebelum Kapala Pitu mati ia sempat meludah dan sedikit mengenai jari kelingking Datu Palui atau Datu Ayuh, namun dengan cepat di kibaskannya sehingga jatuh ketanah dan menjadi batu yaitu BATU SABIGI.
*******
Terimakasih.

Sejarah Dayak dan Banjar

http://banjarkuumaibungasnya.blogspot.com/2010/06/orang-banjar-dan-dayak-di-kalimantan.html?m=1

Selama berabad-abad, orang Dayak sudah menjadi bawahan politik kepada kekuasaan lokal, nasional dan kolonial. Secara lebih khusus, hubungan antara Kesultanan Banjar dengan orang Dayak mungkin ada persamaannya dengan hubungan antara Kesultanan Kutai dengan orang Dayak di Kalimantan Timur. Mengikut Magenda 1991: 2) sebelum masa penjajahan Belanda, wilayah kekuasaan Kesultanan Kutai meliputi orang Dayak di pedalaman, malah pada akhir abad ke-15, kesultanan itu sesungguhnya sudah menjadi persekutuan yang longgar yang terdiri daripada komuniti Dayak dengan seorang raja Melayu dipuncak kekuasaannya. Namun, Kesultanan Kutai yang baru pada awal abad ke-16 adalah kesultanan Melayu par excellence, serupa dengan kesultanan Melayu lainnya didaerah Pesisir Sumatra dan Kalimantan. Baik Magenda (1991) mahupun Rousseau (1990) menyatakan bahawa orang Kutai berusaha menguasai orang Dayak, tetapi mereka tidak dapat melakukan sepenuhnya kerana orang Dayak boleh berpindah lebih jauh ke pedalaman. Keadaan demikian diperkirakan berlaku juga di Kalimantan Selatan dalam perhubugan antara orang Banjar dengan orang Dayak Malah, di Kalimantan Selatan pernah berlaku pemberontakan oleh suku Dayak terhadap Sultan Banjamasin, Sultan Sulaiman pada tahun 1824-1825. Pemberontakan itu dilakukan oleh orang Dayak Bakumpai, di bawah pimpinan Pembakal (Kepala) Kendet, ketua mereka. Walaupun isterinya adalah keluarga Sultan, tetapi sejak 1816 lagi hubungannya dengan Sultan tidak begitu baik. Sultan tidak berupaya menundukkannya, dan ia hanya dapat dikalahkan dengan bantuan Belanda pada tahun 1825. Ia dijatuhkan hukuman mati pada 7 Maret di tahun tersebut (Helius Sjamsudddin 2001: 50). Walau bagaimanapun, dalam sejarah Kalimantan Selatan hubungan antara orang Banjar dengan orang Dayak juga dicirikan oleh hubungan persaudaraan dan ikatan kekeluargaan, kerana adanya perkahwinan yang kerap antara Raja Banjar dengan puteri Dayak. Misalnya, dari tradisi lisan suku Dayak Ngaju diketahui bahawa isteri Raja Banjar pertama yang bernama Biang Lawang adalah etnik Dayak Ngaju. Isteri kedua Raja Banjar pertama yang bernama Noorhayati, menurut tradisi lisan suku Dayak. Maayan, berasal dari etnik mereka. Dalam Hikayat Banjar pula ada disebut bahawa salah seorang isteri Raja Banjar ketiga, Sultan Hidayatullah juga puteri Dayak, iaitu puteri Khatib Banun, seorang tokoh Dayak Ngaju. Dari rahim puteri ini lahir Marhum Panembahan yang kemudian naik takhta dengan gelaran Sultan Mustainbillah. Puteri Dayak berikutnya ialah isteri Raja Banjar kelima, Sultan Inayatullah, yang melahirkan Raja Banjar ketujuh, Sultan Agung. Dan Sultan Tamjidillah (putera Sultan Abdulrahman bin Sultan Adam) juga lahir dari seorang puteri Dayak berdarah campuran Cina, iaitu Nyai Dawang. Sementara itu, dari perkawinan Pangeran Antasari dengan Nyai Fatimah, saudara perempuan Tumenggung Surapati kepala suku Dayak Siang Murung, lahir Sultan Muhamad Seman, yang kemudian meneruskan perjuangan ayahnya menentang Belanda, sehingga gugur oleh peluru Belada pada tahun 1905. Dalam masa perjuangan itu, Muhammad Seman telah mengahwini dua puteri Dayak dari suku Dayak Ot.Danum. Anak Sultan Muhamad Seman, Gusti Berakit juga mengahwini puteri kepala suku Dayak yang tinggal di tepi sungai Tabalong pada tahun 1906. Hubungan persahabatan yang erat antara orang Banjar dengan Dayak jelas kelihatan apabila kedua-dua suku itu berjuang bersama-sama melawan Belanda dalam Perang Banjar (1858-1905). Meskipun ketika berlakunya peperangan itu tidak dinafikan ada ketua suku Dayak yang berpihak di sebelah Belanda, tetapi penyertaan dan sokongan suku Dayak dalam Perang Banjar itu nampaknya sangat terserlah. Dalam peperangan yang memakan masa yang agak panjang itu, ramai pahlawan perang itu terdiri daripada etnik Dayak, antaranya yang paling menonjol ialah Tumenggung Surapati, Panglima Batur (dari suku Dayak Siang Murung), panglima Unggis, Panglima Sogo, Panglima Batu Balot (seorang wanita), dan panglima Wangkang (dari suku Dayak Bakumpai). Pada zaman kolonial Belanda pula, hubungan persaudaraan dan ikatan keluargaan antara orang Banjar dengan orang Dayak masih berterusan. Namun, berbanding dengan orang Dayak, lebih banyak orang Banjar yang berpeluang memasuki birokrasi kolonial, sekurang-kurangnya sebagai pegawai rendah. Dengan itu, orang Dayak terus menjadi subordinat kepada orang Banjar yang menjadi pegawai kerajaan kolonial itu seperti pada zaman Kesultanan juga. Hubungan Orang Banjar dan Dayak Masa Kini Walaupun orang Banjar dan orang Dayak berasal dari masa silam yang sama, tetapi kini masa silam yang sama itu mungkin tidak penting lagi. Yang lebih menonjol kini ialah identitas yang baru – orang Banjar dan orang Dayak adalah dua kumpulan etnik yang berbeda Dan atas identiti baru itu, dua suku yang bertetangga – Banjar dan Dayak -- telah terlibat dengan persaingan dalam pelbagai bidang kehidupan. Dengan itu, Hairus Salim (1996: 227) menganggap bahawa hubungan orang Banjar dengan orang Dayak kini ialah hubungan yang “tak selalu mesra”.

Hubungan orang Banjar dengan orang Dayak yang tidak selalu mesra itu telah diungkapkan oleh Anna Lowenhaupt Tsing (1993), seorang ahli antropologi dari Universiti California, dalam kajiannya tentang Dayak Meratus atau Dayak Bukit, yang banyak bermukim di sekitar pergunungan Meratus di Kalimantan Selatan. Walaupun “hubungan kultural” antara orang Banjar dan Dayak telah “terputus” apabila “Banjar” ditegaskan sebagai identiti mereka yang beragama Islam, dan orang Dayak pula ialah orang yang “bukan Islam”, tetapi menurut Tsing (1993) hubungan ekonomi dan politik yang berasaskan kawasan antara kedua-dua suku tetap berlangsung terus. Hubungan ekonomi dan politik yang berasaskan kawasan itu pada masa kebelakangan ini diatur oleh “pentadbiran negara”.

Dari segi ekonomi, orang Banjar sebenarnya terlibat dengan hubungan perdagangan yang intensif dengan suku Dayak Meratus, malah merekalah yang menjadi perantara bagi perkembangan ekonomi wilayah (Hairus Salim 1996: 230). Orang Banjar mendominasi pasar minggu kecil dihujung jalur yang menuju pegunungan Meratus. Keperluan-keperluan suku Dayak seperti pakaian, garam, perkakas logam dan barang-barang mewah lainnya disalurkan oleh orang Banjar. Sementara itu dengan berjalan kaki atau naik rakit, orang Dayak Meratus datang ke pasar tersebut untuk menjual rotan, getah, kacang, kayu ulin, kayu kemenyan dan hasil-hasil hutan yang lain kepada orang Banjar, yang kemudian menjualnya juga ke bandar. Walau bagaimanapun, hubungan perdagangan antara orang Banjar dengan orang Dayak itu berlangsung dalam keadaan yang sangat tidak seimbang. Sebagai perantara, orang-orang suku Banjar mempunyai kedudukan tawar menawar yang lebih tinggi. Mereka boleh menetapkan harga mengikut kemahuan mereka, yang menyebabkan suku Dayak Meratus selalu merasa dirugikan.

Akan tetapi, orang Dayak tidak dapat berbuat apa-apa, kerana mereka tidak mempunyai pilihan lain. Selain itu, orang-orang Dayak Meratus juga tidak berpuas hati kerana mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mendapatkan kredit daripada pedagang Banjar; jauh dari pemilik sarana pengangkutan, truk atau motorboat, gudang, dan tempat pengeringan getah, yang semuanya dimiliki oleh orang Banjar; tidak mempunyai jaringan untuk mendapatkan modal, kemudahan-kemudahan penyimpanan, dan tempat tinggal di bandar Banjarmasin; akses yang sangat terbatas untuk mengetahui keadaan pemasaran dan seterusnya (Tsing 1993: 55-56). Perhubungan perdagangan yang tidak seimbang itu, diperkuatkan pula oleh hubungan orang Banjar yang rapat dengan “negara”. Orang Banjar adalah penguasa politik pada peringkat wilayah. Bahkan kepentingan negara di kalangan suku Dayak diartikulasikan oleh kepentingan-kepentingan suku Banjar. Di daerah Meratus, ‘’kepentingan negara” menjelma menjadi kepentingan orang Banjar. Ini ialah kerana pegawai-pegawai pemerintah pada peringkat kabupaten dan kecamatan, dan pegawai tentera, pertanian dan kesihatan yang melakukan hubungan dengan orang Dayak ialah orang-orang suku Banjar. Dengan itu, negara dan kepentingan nasional tampil di kalangan Dayak Meratus dengan wajah Banjar. Wajah “negara” dalam artikulasi kepentingan suku Banjar itu diperlihatkan Tsing (1991) misalnya dalam dasar negara mengenai pembangunan masyarakat terasing pada tahun 1970-an. Dalam pentadbiran dasar itu, pada tahun 1971 suku Dayak Meratus dimasukkan sebagai salah satu dari masyarakat terasing. Maka pegawai pemerintah yang kebanyakannya terdiri daripada orang Banjar telah membuka hutan untuk menjadi tempat tinggal baru bagi orang Dayak Meratus. Bagaimanapun, dengan pembukaan hutan itu, orang Banjar juga mendapat kesempatan untuk berpindah ke kawasan baru tersebut, dengan jaminan mendapat perkhidmatan dan tanah. (Tsing 1991: 45). Sebagai akibatnya, tidak lama selepas itu, pemukiman baru itu telah didominasi oleh orang Banjar, kerana penguasaan mereka terhadap jalur perdagangan dan politik wilayah. Sementara itu, orang Dayak Meratus sendiri terus tersingkir, bahkan kemudian banyak yang pulang ke tempat mereka yang asal.

Tidak dinafikan masyarakat Dayak Meratus berpeluang mengenal kemajuan melalui pelbagai dasar negara yang diartikulasikan oleh pegawai pemerintah dari suku Banjar. Mereka mempelajari ekonomi global daripada pedagang Banjar. Orang Meratus juga mengenali birokasi negara di tingkat wilayah melalui orang Banjar. Akan tetapi, hubungan itu tetap bersifat artifisial, kerana dalam banyak hal justru membuat orang Dayak semakin jatuh dan jauh terpinggir dari yang mereka alami sejak zaman pra-kolonial dan kolonial (Hairus Salim 1996: 231). Perhubungan orang Banjar dengan orang Dayak masa kini memasuki tahap yang baru, apabila mulai tahun 2000, suku Dayak Meratus terlibat dengan konflik yang agak serius dengan golongan penguasa Kalsel yang terdiri daripada orang Banjar. Hal ini berkaitan dengan dasar dan tindakan Sjachriel Darham, Gubernor Kalsel masa itu yang nampaknya tidak mengambil kira kepentingan orang Dayak. Sjachriel Darham telah membenarkan sebahagian Hutan Lindung Pegunungan Meratus, tempat tinggal orang Dayak, seluas 46,270 hektar, diberikan kepada perusahaan perkebunan berskala besar, PT Kodeco Group, yang berasal dari Korea Selatan.

Sebagaimana yang diketahui suku Dayak Meratus telah mendiami kawasan pegunungan Meratus itu sejak turun temurun. Hutan itu merupakan sumber kehidupan mereka, kerana memang di situlah tempat tinggal mereka sejak lama. Oleh itu, sudah tentu suku Dayak Meratus tidak menyetujui Hak Pengusahaan Hutan (HPT) kawasan hutan itu diserahkan kepada pengusaha besar. Apatah lagi pemberian konsesi kepada perusahaan dari Korea itu akan melibatkan alih fungsi sebahagian kawasan pergunungan Meratus dari hutan lindung kepada hutan produksi. Oleh itu, mendengar kawasan hutan lindung itu akan dijadikan kawasan Hak Penguasaan Hutan (HPH) Kodeco, ratusan warga masyarakat Dayak Meratus berkali-kali turun ke Banjarmasin untuk mengadakan tunjuk perasaan, sama ada kepada DPRP mahupun kepada Gabenor sendiri. Sejak tahun 1998 hingga awal 2000 dikatakan lebih 20 kali warga pedalaman itu mengadakan tunjuk perasaan ke Banjarmasin dengan tuntutan yang sama: menolak kawasan Meratus dijadikan kawasan HPH. Namun, tuntutan mereka tidak pernah diberi perhatian yang sewajarnya. (Kompas,1 Ogos 2001). Tuntutan warga Dayak Meratus itu akhirnya didengar oleh beberapa LSM. Mereka memberi sokongan dengan membentuk Aliansi Meratus yang merupakan gabungan 33 LSM. Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Kalsel (LMMD-KS) dan LSM Telapak Indonesia yang beribu pejabat di Bogor juga memberi sokongan moral kepada warga Dayak Meratus dengan mengecam Pemda Kalsel. Para aktivis itu jugalah yang meneruskan tuntutan warga Dayak Meratus, sama ada kepada Gabenor Sjachriel mahupun kepada DPRD tempatan. Namun, pihak Pemda bertindak balas untuk melumpuhkan gerakan itu dengan mengadukan Koordinator Aliansi Meratus, Hairansyah kepada pihak polis dengan tuduhan menghasut rakyat untuk mengadakan tunjuk perasaan. Ketika isu yang berkaitan dengan pemberian sebahagian hutan lindung Pegunungan Meratus kepada perusahaan besar itu belum lagi selesai, timbul pula isu lain yang melibatkan kawasan yang sama, iaitu pemberian hak melombong kepada pengusaha perlombongan emas, PT Meratus Sumber Mas oleh pemerintah daerah. Tindakan pemerintah daerah ini mendapat tentangan daripada kira-kira 750 orang perwakilan dari 300 balai (rumah besar pusat kegiatan adat) yang tersebar di seluruh Kalimantan Selatan, yang mengadakan kongres selama empat hari, berakhir pada 26 Jun 2003 di Samarinda (Kompas 1 Julai 2003). Namun, penentangan warga Dayak Meratus itu nampaknya tidaklah mendapat perhatian yang sepatutnya daripada pemerintah daerah yang dikuasai oleh orang Banjar. Oleh yang demikian, sebuah LSM terkenal yang prihatin tentang masalah alam sekitar, yaitu WALHI, dalam beritanya pada 2 Juni 2006 menyatakan: "...Hutan Lindung Meratus, kawasan hutan asli yang masih tersisa di Propinsi Kalimatan Selatan, “rumah terakhir” masyararakat Dayak Meratus saat ini menjadi kawasan yang paling terancam. Saat ini pemerintah dan pengusaha tambang serta perkebunan skala besar melakukan berbagai cara, termasuk memecah masyarakat Dayak Meratus melalui perubahan tapal batas antar kabupaten, sayangnya kebutuhan masyarakat bertolak belakang dengan keinginan pemerintah daerah (Walhi 2006)."

Apabila disebut pemerintah daerah tentulah merujuk kepada orang Banjar, kerana orang Banjarlah yang merupakan penguasa pada peringkat tersebut. Ini bermakna konflik antara orang Dayak dengan orang Banjar masih berterusan. Kesimpulan Meskipun orang Banjar berasal dari orang Dayak, ataupun dari percampuran orang Dayak dengan pelbagai suku yang lain, tetapi setelah orang Banjar memeluk agama Islam dan menubuhkan kerajaan Islam Banjar, “perpisahan” antara kedua suku itu nampaknya sudah merupakan sesuatu yang berkekalan. Mungkin sejak zaman dahulu lagi, orang Dayak yang tidak memeluk agama Islam memilih tinggal di kampung yang berasingan dari kampung orang Banjar; di tempat yang umumnya terletak di pedalaman. Kemunculan kerajaan Islam Banjar pada abad ke-16, nampaknya menandakan bermulaanya kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar, kerana orang Banjar adalah kelas pemerintah yang wilayah pemerintahannya meliputi juga kawasan yang didiami oleh orang Dayak. Kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar ini boleh dikatakan tidak berubah pada zaman penjajahan dan lebih jelas lagi pada zaman selepas kemerdekaan, kerana pada zaman selepas kemerdekaan memang orang Banjarlah yang menduduki jawatan penting dalam pemerintahan daerah, di samping mereka juga yang menguasai perdagangan yang melibatkan orang Dayak. Jika kita lihat hubungan orang Banjar dengan orang Dayak pada masa mutakhir, hubungan mereka nampaknya bukan sahaja tidak mesra, malah sudah melibatkan konflik yang agak serius. Hubungan tidak mesra itu sudah kelihatan sejak lama, melibatkan golongan pedagang Banjar dan penguasa Banjar, yang jelas lebih berkuasa ke atas orang Dayak Kini timbul pula isu baru yang menimbulkan konflik, iaitu tindakan pemerintah daerah yang diketuai oleh Gabenor dari etnik Banjar yang memberikan kawasan hutan tempat tinggal orang Dayak Meratus kepada pengusaha perkebunan dan perlombongan besar. Tidaklah dinafikan pemberian kawasan hutan untuk diusahakan oleh pengusaha besar itu ada juga faedahnya kepada orang Dayak, misalnya dari segi wujudnya peluang pekerjaan, dan mungkin terbinanya jalan yang akan menghubungkan kawasan tempat tinggal orang Dayak dengan kawasan bandar. Namun, sebagaimana yang terbukti dari kajian di tempat lain, (lihat Syarif Ibrahim Alqadrie 1994, 244-260; Patingi Y.A.Aris 1994, 261-66), kesan negatif dari aktiviti pembukaan kawasan hutan dan perlombongan itu kepada kehidupan penduduk setempat jauh lebih banyak dari kesan positifnya. Itulah sebabnya orang Dayak tidak menyetujui kawasan hutan tempat tinggal mereka diberikan kepada pengusaha besar. Walau bagaimanapun, kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar nampaknya tidak memungkinkan mereka menentang dasar pembangunan penguasa Banjar yang merugikan mereka, dan dengan itu sangatlah sukar mereka keluar dari kehidupan mereka yang mundur dan terpinggir. Barangkali orang Dayak hanya mungkin keluar dari keadaan mundur dan terpinggir itu, setelah melalui satu masa yang agak lama, khasnya setelah mereka mencapai taraf pendidikan yang memadai dan dengan itu dapat menduduki jawatan penting dalam pemerintah daerah, sama ada dalam bidang birokrasi mahupun politik. Memang sebagaimana yang sering berlaku, orang Dayak hanya mungkin bermobiliti ke atas, walaupun agaknya secara beransur-ansur, melalui jalan pendidikan.

Post: Buletin AMAN HST