Selasa, 17 Desember 2019

ANTUSIAS MASYARAKAT ADAT DAYAK BUKIT (MERATUS) HST DALAM PENDOKUMENTASIAN DATA DAN PETA WILAYAH ADAT


Setelah pelaksanaan kegiatan Lokakarya 1 Pemetaan Partisipatif Skala Luas Wilayah Adat Masyarakat Adat Dayak Bukit (Meratus) Kecamatan Batang Alai Timur dan Batang Alai Selatan, Sabtu dan Minggu 14-15 Desember 2019 di Balai Pawanangan Desa Labuhan untuk pendokumentasian data komunitas dan sketsa wilayah adat 29 Balai. Fasilitator Kampung (FK) dan Tim Lapangan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Hulu Sungai Tengah (AMAN HST) sudah mulai bergerak.

Salah satu Tim Lapangan, Sahliwan melakukan pendampingan pengisian data sosial komunitas Balai Atiran dan Banyu Panas untuk Penguatan Data Komunitas Adat sesuai format dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, serta untuk Percepatan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Kab. HST.

Ketua BPH AMAN HST Rubi, S.Pd. saat ditemuai menyatakan bahwa, "Saat ini yang sudah dapat kami pantau Fasilitator Kampung (FK)  yang melaksanakan pendataan ada 6 balai, Balai Atiran, Balai Banyu Panas, Balai Juhu, Balai Sumbai, Balai Datar Batung, dan Balai Buhul Kecamatan Batang Alai Timur."

"Data yang digali oleh FK berupa Sejarah, Asal usul, Batas Wilayah, Situs Peninggalan, Ritual-ritual, Struktur Kelembagaan, Peradilan Adat, Hukum Adat, Kearifan Lokal, Bahasa, Seni dan Budaya, Keanekaragaman Hayati, serta obat-obatan dan pengobatan tradisional, dan lainnya", tambah Rubi.

Sumber data FK adalah Tokoh atau tetua adat dan fakta-fakta di lapangan. FK berjumlah 3 orang perwakilan dari masing-masing balai. Sedangkan Tim Lapangan dari AMAN HST berjumlah 6 orang untuk pendampingan data sosial dan 6 orang untuk sketsa peta wilayah adat.


Sumber: AMAN HST

Sabtu, 14 Desember 2019

AMAN HST Gelar Lokakarya 1 Pemetaan Partisipatif Skala Luas Wilayah Adat


Sabtu-minggu, 14-15 Desember 2019.

Di Balai Pawanangan Desa Labuhan Kecamatan Batang Alai Selatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah dilaksanakan kegiatan Lokakarya 1 Pemetaan Partisipatif Skala Luas Wilayah Adat  Dayak Bukit (Meratus) di Kecamatan Batang Alai Timur dan Batang Alai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Acara ini dihadiri oleh Tokoh-tokoh perwakilan 28 Balai Kecamatan Batang Alai Timur dan Batang Alai Selatan, Camat Batang Alai Timur, Camat Batang Alai Selatan, Kapolsek Batang Alai Selatan, Danramil Batang Alai selatan, Kepala Desa Labuhan, Kepala Adat Batang Alai Timur, Kepala Adat Labuhan, Kadis Perdagangan dan UMKM, dan kegiatan dibuka langsung oleh Wakil Bupati Hulu Sungai Tengah Berry Nahdian Forqan, S.P., M.S.

Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah Pemetaan wilayah adat Dayak Meratus di Kecamatan Batang Alai Timur dan Batang Alai Selatan, Kab. HST melalui pemetaan partisipatif dengan metode skala luas. Peningkatan kapasitas dan pemahaman masyarakat adat Dayak Meratus di Kecamatan Batang Alai Timur dan Batang Alai Selatan, Kab. HST dalam mengidentifikasi permasalahan yang terjadi di dalam ruang hidupnya, memperbaiki pengaturan, pengelolaan dan pengendalian atas pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah adatnya serta membangun kepercayaan diri supaya memiliki posisi yang lebih kuat untuk menyatakan hak-haknya dan melakukan negosiasi ruang dengan pihak-pihak lain yang dianggap sebagai lawan sengketa mereka.

Hasil Yang Diharapkan adalah adanya peta wilayah adat Dayak Meratus di Kecamatan Batang Alai Timur dan Batang Alai Selatan, Kab. HST sebagai bahan dalam perencanakan tata ruang,  pengembangan sosial dan ekonomi masyarakat adat serta klaim hak atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam untuk mendorong adanya pengakuan dari pemerintah dan pihak luar. Adanya dokumentasi sejarah, budaya dan hal-hal yang berkaitan dengan profil komunitas  adat Dayak Meratus di Kecamatan Batang Alai Timur dan Batang Alai Selatan, Kab. HST. Masyarakat adat Dayak Meratus di Kecamatan Batang Alai Timur dan Batang Alai Selatan, Kab. HST menjadi sadar atas berbagai permasalahan di dalam ruang hidupnya dan paham untuk memperbaiki pengaturan, pengelolaan dan pengendalian atas pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah yang sudah dipetakan secara partisipatif serta memiliki posisi yang lebih kuat untuk menyatakan hak-haknya dan melakukan negosiasi ruang dengan pihak-pihak lain yang dianggap sebagai lawan sengketa.

 "Harapan kami, sejauh ini kerjasama AMAN HST dengan Pemerintah Daerah, kecamatan, desa, SKPD terkait, AMAN HST selalu memberikan dukungan positif. Kami berharap Tim Identifikasi, Verifikasi, dan Validasi yang dibentuk oleh Bupati akan segera bergerak dan memastikan Perda Masyarakat Adat akan dibahas pada tahun anggaran 2020, seperti itu lah harapan masyarakat. Karena AMAN HST mempunyai visi dan tujuan yang sama untuk mempertahankan Meratus. Masyarakat Adat dan Pemerintah Daerah tidak ingin Kab. HST hancur karena kita tidak satu pemahaman. " kata Rubi, Ketua BPH AMAN HST.
"Harus ada satu bentuk kesepakatan yang baik antara Pemerintah Daerah dengan AMAN HST, karena jika hal-hal tersebut tidak ada respon positif, maka perwakilan dari 63 balai di HST akan menghadap Bupati dan DPRD HST." tambahnya lagi.

Polsek BAS dan Danramil BAS menyatakan bentuk dukungan kepada Masyarakat Adat, segera disahkannya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di HST agar Meratus tetap terjaga dengan kearifan lokal yang masih dapat dipertahankan oleh masyarakat setempat hingga saat ini, baik itu pengelolaan alam hingga adat istiadatnya. Tak luput pula bentuk dukungn tersebut diberikan oleh Pembakal Labuhan, Kepala Adat Labuhan, dan semua tokoh masyarakat adat di Btang Alai Timur dan Batang Alai Selatan saat kegiatan Lokakarya ini yang berlangsung dengan baik dan sesuai harapan.




Sumber : AMAN HST

Selasa, 03 Desember 2019

HST Perwakilan Kalimantan Selatan Hadiri Workshop Penguatan Lembaga Adat di Bulukumba, Sulawesi Selatan



Hulu Sungai Tengah menjadi salah satu peserta Workshop Penguatan Lembaga Adat yang di laksanakan di Bulukumba dan Komunitas Adat Ammatoa Kajang, Sulawesi Selatan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi RI dari tanggal 2 - 5 Desember 2019. 
Kegiatan tersebut juga sebagai pembelajaran untuk komunitas Masyarakat Adat di Nusantara dalam Penguatan Lembaga Adat serta mendorong Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di berbagai daerah di Indonesia. Dan secara langsung melihat komunitas Bulukumba terkait proses dan implementasi Perda Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang. 
Sementara itu Bupati AM Sukri Sappewali yang membuka acara menyampaikan terima kasih kepada Kemendikbud atas dipilihnya Kabupaten Bulukumba sebagai lokasi studi banding atau pembelajaran dari masyarakat adat dari daerah lainnya. Menurutnya dengan Perda Perlindungan Hak Adat Ammatoa Kajang menjadi payung hukum dalam melaksanakan berbagai program kegiatan pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat adat Ammatoa Kajang. 
“Secara khusus juga Presiden telah mengeluarkan Keppres untuk hutan adat Kajang, sebagai pengakuan dalam pengelolaan hutan yang selama ini dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat adat,” ungkapnya. 
Beberapa narasumber pada workshop yang berlangsung sehari tersebut, yaitu Christriyani Ariani (Kemendikbud), Andi Misbawati Wawo (Kepala DLHK), Erasmus Cahyadi (AMAN) dan Andi Buyung Saputra (Pemangku Adat-Labbiria Ri Kajang). 
Adapun daerah yang mengikuti workshop, yaitu Raja Ampat (Papua Barat), Kepulauan Aru (Maluku), Halmahera Tengah (Maluku Utara), Majene (Sulawesi Barat), Sumba Timur (NTT), Sikka (NTT), Lombok Timur (NTB), Lombok Utara (NTB), Hulu Sungai Tengah (Kalsel), Barito Utara (Kalteng), Murung Raya (Kalteng), Lampung Timur (Lampung), Kampar (Riau), Indra Giri Hulu (Riau), dan Tobasa (Sumut). 
Dari Kabupaten Hulu Sungai Tengah dihadiri oleh Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Hulu Sungai Tengah Rubi, S. Pd dan dari Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) Bapak Samkani. 
Hasil dari kegiatan tersebut akan sejalan dengan usulan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Kabupaten Hulu Sungai Tengah yang akan masuk pada perencanaan daerah tahun 2020 serta Perda No. 4 Tahun 2016 tentang Aruh dan Perlindungan Kearifan Lokal di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Seperti halnya Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Masyarakat Adat Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu Sungai Tengah pun harus diakui dan dilindungi. Baik manusianya, adat istiadat dan budaya, serta hutan dan wilayah adatnya, bekerjasama antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat adat setempat.

Sumber: AMAN HST

Jumat, 29 November 2019

Penantian Panjang Masyarakat Adat Hulu Sungai Tengah!!

Foto : Manugal

UUD 1945 melalui Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) telah mengakui keberadaan Masyarakat Adat, dan memandatkan untuk menghadirkan Undang-Undang turunan khusus yang melindungi dan menghormati hak Masyarakat Adat. Maka dari itu, kehadiran Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat ini sebenarnya dimaknai sebagai wujud negara melunasi utang konstitusi, dan manifestasi kehadiran negara di tengah Masyarakat Adat.
Masyarakat Adat itu merupakan subjek hukum alamiah. Ia bahkan hadir sebelum negara ini dideklarasikan. Masyarakat Adat tidak dibentuk oleh pemerintah atau negara, karena dia bukan lembaga. Tidak ada satu pun lembaga pemerintah yang berhak untuk mengatur keberlangsungannya; hanya cukup mengakui, dan menghormati keberadaan hak Masyarakat Adat sebagai manifestasi kehadiran negara di tengah setiap elemen masyarakat sesuai dengan amanat konstitusi.
Begitu banyaknya peraturan yang menjelaskan bahwa Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat melalui Peraturah Daerah adalah kebijakan dari Pemerintah Daerah itu sendiri, tanpa harus adanya Surat Edaran atau intruksi dari Pemerintah yang berada di atasnya. Dengan tidak melaksanakannya berarti Pemerintah pun tidak mengakui bahkan menghormati hasil keputusan-keputusan tersebut. Jadi sebenarnya yang tidak memahami itu adalah siapa??
Pemerintah Daerah memiliki peran sangat penting untuk pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat. Pasal 67 ayat (2) UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Terkait pasal tersebut, dalam membuat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah merupakan delegasi wewenang yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Konsisten dengan Pasal 67 ayat (2) UU No 41 tahun 1999 tersebut, dalam Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa “Penetapan pengakuan MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di Daerah kabupaten/kota merupakan urusan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota”; lalu Pasal 98 ayat (1) UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyatakan “Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.
Selain itu, Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat juga menyatakan “Gubernur dan bupati/walikota melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakathukum adat”; dan Pasal 6 ayat 1 huruf a Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015 Tentang Hutan Hak menyatakan “Terdapat masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah diakui oleh pemerintah daerah melalui produk hukum daerah”. Demikian pentingnya peran Pemerintah Daerah dan keberadaan Peraturan Daerah, maka percepatan pengakuan masyarakat hukum adat sangat bergantung pada inisiatif Pemerintah Daerah. Dalam hal ini, Kebijakan Daerah bisa lahir melalui inisiatif Kepala Daerah atau DPRD Kabupaten/Kota.
Memperhatikan Penjelasan Pasal 67 ayat (2) UU No 41 tahun 1999 bahwa Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan,serta instansi atau pihak lain yang terkait, inisiatif yang akan dilakukan Kepala Daerah atau DPRD Kabupaten/Kota memerlukan dukungan pakar atau akademisi hukum, dan aspirasi masyarakat atau NGO (pihak lain yang terkait). Singkatnya, kesepahaman perlu adanya sinergisitas antara Kepala Daerah atau DPRD Kabupaten/Kota, akademisi, dan masyarakat atau NGO menjadi modal utamanya.
Sebagai Negara yang menganut tradisi Civil Law System, maka dalam membaca sistem hukum Indonesia haruslah berangkat dari hierarkhi perundang-undangan yang paling kuat yakni konstitusi yang diwujudkan dalam UUD 1945. Begitu pula dalam mengelaborasi pengaturan mengenai eksistensi masyarakat hukum adat dalam sistem politik hukum Indonesia, hal yang paling mudah adalah dengan pertama kali mengkaji pengaturannya dalam UUD 1945. Pasal 18 I UUD 1945 secara tersurat menyatakan pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat berserta hak asal usulnya selama masih hidup dan tidak bertentangan dengan kebijakan negara.
Begitu banyaknya kepentingan politik terkadang mengabaikan amanat yang telah ada, berbagai alasan menjadi halang rintang dalam proses Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat ini, utamanya di Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Subjek yang seharusnya dilindungi secara hukum, menjadi terabaikan.
Hingga saat ini, Pemerintah Daerah yang telah menerbitkan produk hukum Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia ada 43 berupa Keputusan Bupati dan ada 30 berupa Peraturan Daerah, serta ada 1 Peraturan Bupati.
Sedangkan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah pengajuan Perda ini sudah dilakukan sejak tahun 2013 hingga sekarang, namun belum juga dibahas dan ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.



Sumber: AMAN HST









Rabu, 13 November 2019

PETAKAN WILAYAH ADATMU, SEBELUM DIPETAKAN OLEH ORANG LAIN !!

Kamis, 14 November 2019. 

Ketidakpastian wilayah hidup komunitas-komunitas masyarakat adat/lokal telah menjadi persoalan yang menonjol dalam pengelolaan ruang hidup. Semakin merebaknya sengketa terbuka atas ruang antara masyarakat adat yang tinggal di wilayah tersebut dengan pihak luar dimulai oleh adanya kebijakan penataan ruang yang tidak memperhatikan hak-hak komunitas yang hidup di wilayah tersebut. Konflik Sosial dan Bencana Alam bisa saja terjadi dengan dimulai oleh kebijakan penataan ruang yang menapikan hak-hak komunitas masyarakat adat serta daya dukung alam.
Persoalan ini menjadi motivasi para aktivis gerakan sosial untuk mengembangkan alat yang dikenal dengan community mapping atau di Indonesia disebut dengan pemetaan komunitas partisipatif atau pemetaan partisipatif.  Alat ini dikembangkan dengan memadukan metode-metode partisipatif dalam penelitian sosial dan pemetaan (katografi). Pemetaan partisipatif ini dimaksudkan untuk memampukan/memberdayakan komunitas-komunitas masyarakat adat/lokal untuk mengatur, mengurus dan mengendalikan penggunaan ruang di wilayah hidupnya. 
Dengan alat ini komunitas-komunitas masyarakat adat difasilitasi dalam serangkaian proses yang partisipatif untuk menegaskan keberadaannya sebagai masyarakat adat dan sekaligus mendeliniasi wilayah hidupnya berdasarkan asal-usul leluhurnya. Alat ini juga digunakan untuk menyusun rencana pengelolaan dan pengembangan wilayah komunitas untuk menjamin kelangsungan kehidupan mereka yang lebih baik dan berkelanjutan dimasa sekarang dan masa depan.
Pemetaan Partisipatif bukan hanya sekedar kegiatan mengukur-ukur wilayah saja atau halhal yang berkaitan dengan teknis memetakan suatu wilayah saja. Seorang fasilitator pemetaan partisipatif dituntut bukan hanya memiliki kemampuan pemetaan saja, tetapi juga harus memiliki kemampuan non teknis diluar pemetaan.

Hari ini, merupakan materi terakhir pelatihan pemetaan yang telah diselenggarakan selama 7 hari (materi di dalam kelas selama 5 hari dan materi praktek lapangan selama 2 hari) yang dimulai dari tanggal 8 sampai dengan 14 November 2019. PD AMAN HST sebagai tuan rumah, kegiatan tersebut  bertempat di Komunitas Masyarakat adat Desa Datar Batung, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

Sebagai fasilitator dan narasumber pelatihan merupakan orang sudah berpengalaman dalam memfasilitasi kegiatan pemetaan partisipatif dan tentunya memahami alur proses pemetaan. Kegiatan ini di fasilitasi oleh UKP3 Wilayah dan PB AMAN.
Narasumber dalam kegiatan ini adalah :
Yulius Tanang (Ketua BPH PW AMAN Kalimantan Selatan), Rubi (Ketua BPH PD AMAN Hulu Sungai Tengah), dan SLPP Kalimantan Selatan.

Peserta yang mengikuti pelatihan ini adalah;
UKP3 Wilayah Kalimantan Selatan,
UKP3 Daerah Hulu Sungai Selatan,
UKP3 Daerah Balangan,
UKP3 Daerah Tanah Bumbu,
UKP3 Daerah Kotabaru, dan
UKP3 Daerah Hulu Sungai Tengah.

Kegiatan ini bertujuan untuk menciptakan dan memperbanyak kader-kader Fasilitator Pemetaan Partisipatif di Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah AMAN untuk mempercepat gerakan pelayanan pemetaan partisipatif kepada komunitas-komunitas Anggota AMAN.
Serta meningkatkan kualitas dan pemahaman UKP3 Pengurus Wilayah dan UKP3 Pengurus Daerah dalam kerja pelayanan pemetaan partisipatif kepada komunitas-komunitas Anggota AMAN.



Sumber: AMAN HST

Kamis, 01 Agustus 2019

AMAN HST Menagih Janji Panitia Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat segeraTurun Kelapangan



Kamis, 1 Agustus 2019.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kabupaten Hulu Sungai Tengah bersama Demang dan wakil tokoh masyarakat bertemu dengan Bupati Hulu Sungai Tengah di Kantor Beliau pada Kamis siang.
AMAN HST dan Tokoh mempertanyakan kembali terkait tindak lanjut dari Surat Keputusan Bupati No 140/90/411.43 tentang Pembentukan Panitia Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Dan Bupati menyambut baik serta meminta staff Ahli dan Bagian Hukum untuk segera menyampaikan kepada Ketua Tim Panitia yaitu Setda agar melakukan rapat persiapan Tim untuk turun ke lapangan pada proses identifikasi, verifikasi, dan validasi Masyarakat Adat di Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Bupati mendukung penuh proses Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sehingga mengharapkan agar Tim Panitia bisa cepat bergerak. Bupati meminta Tim Panitia bisa bekerjasama dengan AMAN HST dan tokoh sebagai sumber data di lapangan. Percepatan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat ini tidak lain adalah untuk dapat segera mengamankan wilayah Masyarakat Adat dan warisan leluhur dari berbagai ancaman luar.
Ketua AMAN HST, Rubi pun menyatakan bahwa konteks mengenai Pengakuan dan Perlindungan ini sudah beberapa kali dibahas dan diajukan, sehingga bukan hal yang baru lagi, namun hingga saat ini hanya menjadi bagian dari wacana saja. Sampai kemudian Bupati HST menandatangi SK Panitia tersebut yang merupakan harapan baru bagi Masyarakat Adat tentang kepedulian Pemerintah terhadap mereka sebagai subjek hukum. Hal ini tidak lain adalah untuk menyaring berbagai kebijakan yang masuk di lingkungan wilayah Adat serta perlindungan terhadap adat istiadat serta budaya yang masih kuat di masyarakat adat Pegunungan Meratus Hulu Sungai Tengah. "Kami tidak ingin masyarakat turun ke sini dan bertindak anarkis untuk menuntut Pemerintah Daerah, karena menurut masyarakat Pemerintah seperti mengabaikan amanat UU dan aturan yang sudah ada untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat. Mereka merasa selama ini hanya diberikan janji-janji saja, sedangkan tindakan yang nyata belum ada." AMAN HST menjadi jembatan bagi Masyarakat Adat untuk menyampaikan berbagai pendapat.

AMAN HST menemui Bupati dengan perkenalan ciri khas Masyarakat Adat Meratus yaitu menggunakan Lawung (Ikat kepala) yang kemudian diminta oleh Bupati untuk diberikan kepada Beliau, sebagai suatu penghormatan Ketua BPH AMAN HST, Rubi menyerahkan secara langsung  kain Lawung tersebut dan dipakaikan oleh Bidang Manajemen AMAN, Sahliwan sebagai wujud hubungan yang baik dari Masyarakat Adat Pegunungan Meratus dengan Bupati Hulu Sungai Tengah dan Pemerintah Daerah.





Penulis:
Buletin AMAN HST

Senin, 15 Juli 2019

Kecemasan terhadap Pemindahan Ibukota, AMAN HST

Senin, 15 Juli 2019.
Ditemui di rumah perjuangan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kabupaten Hulu Sungai Tengah seusai menghadiri pertemuan terkait pemindahan Ibukota RI ke Kalimantan Selatan.
Ketua Badan Pelaksana Harian AMAN HST Rubi dan Ketua Badan Pelaksana AMAN Kalsel Yulius Tanang memberikan pernyataan, bahwa secara pribadi mereka mendukung jika memang nanti akan ada pemindahan Ibukota ke Kalimantan Selatan. Namun, yang harus menjadi perhatian dari pemerintah bahwa keadaan yang sangat ironis terkait keberadaan Masyarakat Adat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan. Dan rencana pemindahan Ibu Kota ini pun menjadi kecemasan untuk keberadaan Masyarakat Adat yang selama ini belum diakui keberadaannya oleh Pemerintah Pusat melalui RUU Masyarakat Adat maupun oleh Pemerintah Daerah melalui Perda. Jadi, tidak akan menutup kemungkinan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, jika nanti Pemerintah dan Masyarakat Adat tidak saling bersepakat. Seperti hal nya penolakan oleh Masyarakat Adat Tanah Bumbu melalui pernyataan AMAN Tanbu Taufik Haderani, mereka jelas menolak wacana pemindahan ibukota ke Kalsel, karena lokasi yang akan direncanakan kemungkinan besar merupakan di wilayah adat. Lantas jika Ibukota dipindah ke Kalsel, maka Wilayah Adat Dayak Meratus lah yang akan menjadi ancaman.
Selain terkait wilayah adat Rubi menyatakan bahwa "Akan terjadi perubahan lingkungan dan pola perilaku sosial, oleh karena itu kalaupun nanti akan ada pemindahan Ibukota, harapan dari AMAN HST di KALSEL mewakili Masyarakat Adat Dayak Meratus di Provinsi Kalimantan Selatan, pemerintah terlebih dahulu meningkatkan kesejahteraan Masyarakat Adat dan kemudian dapat segera dilaksanakan Pengakuan dan Perlindungan oleh Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah melalui RUU atau Perda Masyarakat Adat.
Negara dapat lebih berkembang dan maju dengan memberdayakan kearifan lokal serta kekayaan yang ada di Negara sendiri. Baik itu kekayaan alam, keragaman suku dan budaya, untuk kesejahteraan masyarakat. Kesetaraan sosial baik dari segi pendidikan dan kesehatan dapat terpenuhi hingga tingkat pedesaan, pinggiran, hingga pegunungan dan pelosok. Khususnya lebih memperhatikan hak-hak dan kesejahteraan Masyarakat Adat yang ada di seluruh Nusantara. Bisa mempertahankan adat dan budaya sebagai identitas bangsa."
Tambah Rubi, "Kami mendukung dan sepakat jika memang untuk kepentingan bangsa dan negara dalam pemindahan ibukota tersebut, tetapi akan menjadi kecemasan apabila tidak ada kesiapan bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat di Kalimantan Selatan dalam mempertahankan Adat istiadat dan budaya serta kelestarian alamnya. Karena sesuai perkembangan modernisasi sedikit banyaknya akan berpengaruh bagi kebiasaan lingkungan sekitar ibukota."
Masyarakat Adat Dayak Meratus telah mendiami Kalimantan Selatan sebelum RI merdeka, mereka tersebar di 8 Kabupaten, yaitu HST, HSS, Balangan, Tabalong, Tanah Bumbu, Kotabaru, Tapin dan Banjar. Sebagian besar berada di wilayah Pegunungan Meratus. Mereka lah yang menjaga dan melindungi Meratus sampai saat ini dengan berpegangan teguh pada Adat Istiadat, Hukum Adat, dan Budaya serta Tradisi Leluhur. Kehidupan Masyarakat Dayak Meratus dari alam beserta isinya, maka jika wilayah mereka diambil maka akan menjadi sebuah kekhawatiran. Hutan Kalsel merupakan benteng terakhir pertahanan kehidupan.
Sehingga harus menjadi perhatian dan pertimbangan penting bagi Pemerintah terkait pengkajian pemindahan Ibukota ke Kalsel.





Penulis :
Redaksi Buletin AMAN HST


Sabtu, 13 Juli 2019

Tari Malamang Aruh Melanggar Pranata Adat

Sabtu, 13 Juli 2019.
Bertempat di Balai Paninggalan Datu Nini komunitas Adat Datarlaga, Desa Murung B Kecamatan Hantakan. Kepala Adat, Tokoh tetua Masyarakat Adat, Demang Hulu Sungai Tengah, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Hulu Sungai Tengah, beserta Masyarakat Adat setempat melaksanakan musyawarah Adat. Hal ini berkaitan dengan Pemanggilan Masyarakat Adat kepada Sanggar Seni Bima Cili Tatah Barikin melalui Kepala Adat dan difasilitasi oleh AMAN HST.
Pemanggilan tersebut bermula saat salah satu tokoh masyarakat menyaksikan di You Tube tarian yang dibawakan oleh Sanggar Seni Bima Cili Tatah Barikin yang diberi judul Tari Malamang Aruh pada event Tari Remaja 2019 di Gedung Kesenian Jakarta pada tanggal 4 dan 5 Juli 2019 mewakili Kalimantan Selatan di tingkat Nasional dan kemudian tersebar luas di masyarakat. Dalam tarian tersebut mereka memasukkan kegiatan dan hal-hal yang dianggap sakral dalam kegiatan Aruh oleh Masyarakat Adat Dayak Meratus khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Selain itu, hal yang sangat disayangkan adalah tidak adanya koordinasi dan memohon izin terlebih dahulu sebelum menampilkan gerakan tersebut dalam sebuah tarian sehingga tidak mengetahui mana gerakan yang boleh dan mana yang dilarang untuk ditampilkan.
Demang Sakarani dan Sukeran Effendi "Kami takut karena gerakkan yang ditampilkan dalam acara tersebut akan memberikan akibat kepada kami, karena ritual Aruh merupakan hal yang sangat sakral (suci) sebagai bentuk permohonan kami kepada Yang Kuasa dan para Leluhur untuk Kesehatan, Keselamatan, Umur, dan Rezki. Jadi, bila dilakukan sembarangan, maka akan berdampak pada kehidupan kami."
Ketua BPH AMAN HST Rubi, "Kami selaku organisasi Masyarakat Adat dan sekaligus Masyarakat Dayak itu sendiri wajib memfasilitasi dan membantu menyelesaikan masalah dan keluhan dari masyarakat terkait pelanggaran ini."
Pertemuan ini dihadiri oleh Ketua Dewan Adat Dayak, David yang juga membenarkan bahwa tidak ada koordinasi sebelumnya oleh Sanggar Seni tersebut kepada Masyarakat Adat Dayak sehingga menimbulkan hal yang tidak nyaman di masyarakat.
Ketua adat pun menyatakan, bahwa akan ada sanksi adat atau denda adat yang akan dikenakan kepada yang bersangkutan, Ansari selaku pengkarya Tari Malamang Aruh, jika dalam peradilan Adat nanti dia dinyatakan benar bersalah bahwa telah menggunakan kegiatan sakral dalam Aruh tanpa adanya izin terlebih dahulu. Tiga point yang menjadi keberatan Masyarakat Adat adalah penggunaan Gelang Hiyang dalam tarian yang merupakan pemanggil Roh dari leluhur Masyarakat Adat, Langgatan dan Lamang yang merupakan bagian penting dari ritual Aruh, serta Tari dan musik yang tidak sesuai dengan Adat Dayak Meratus Kabupaten HST.
Namun orang yang bertanggungjawab dalam tarian tersebut, Ansari, tidak hadir karena sedang dalam kegiatan lomba di Luar Daerah. Sehingga pertemuan tersebut akan dilaksanakan kembali sampai permasalahan dan keluhan masyarakat ini dapat terselesaikan.
Sebagai langkah awal dari penyelesaian masalah ini, Sanggar Seni Bima Cili Tatah Barikin mengajukan Permohonan Maaf secara lisan dan tertulis.
Nopi Abadi dari OKK AMAN HST, "Permohonan maaf tersebut mungkin dapat kami terima secara pribadi sebagai niat baik dari Sanggar Seni selaku Manajemen dalam membawakan tarian di event tersebut, namun karena permasalahan ini bersifat kolektif, kepada orang banyak, maka harus diselesaikan secara Adat dengan orang yang bersangkutan. Baik itu si pengkarya tari ataupun pihak manajemen."
Hal tersebut di setujui oleh tokoh masyarakat di Datarlaga seperti Ramsis dan Rusdian selaku masyarakat setempat.
Dan Yansah dari pihak Sanggar Seni Bima Cili Tatah Barikin pun menyepakati bahwa akan ada pertemuan selanjutnya yang akan diatur jadwalnya bersama AMAN HST agar segera dapat menyelesaikan masalah ini secara langsung diputuskan dalam Peradilan Adat nanti.
Permohonan maaf Sanggar seni Bima Cili Tatah untuk sementara dapat diterima oleh Tokoh Masyarakat Adat, namun kemudian akan dirumuskan kembali pada saat pertemuan berikutnya bersama pihak-pihak yang terlibat dalam pergelaran tari tersebut.





Penulis :
Redaksi Buletin AMAN HST

Minggu, 19 Mei 2019

Perda Masyarakat Adat Selamatkan Meratus dan Kehidupan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah



Senin, tanggal 20 Mei 2019 di Kantor Bupati Hulu Sungai Tengah, Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kabupaten Hulu Sungai Tengah menyerahkan Petunjuk Teknis untuk Tim Panitia Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sebagai bahan referensi panduan untuk proses identifikasi, verifikasi, dan validasi lapangan.
"Tim akan mulai bergerak setelah lebaran nanti", sambutan baik dari Bapak Bupati Hulu Sungai Tengah. "Dan akan ada rapat Tim terkait proses turun ke lapangan", kata Ibu Kamsinah Kabag Hukum Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Bapak Ainurafiq Asisten I.
Proses menuju Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Hulu Sungai Tengah melalui kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang membawa mandat dari Tokoh dan Tetua Adat akan memberi harapan baru akan segera terwujud. Setelah 6 tahun lamanya, sejak tahun 2013 hingga sekarang terus mengusulkan dan mendorong Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, tahun 2018 masuk Prolegda namun belum bisa dibahas dan tahun 2019 telah memperoleh Surat Keputusan Bupati No 140/90/411.43 tentang Pembentukan Panitia Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Perda Masyarakat Adat diantara lain bertujuan untuk adanya pengakuan oleh Pemerintah Daerah tentang keberadaan Masyarakat Adat, serta pengembalian dan kepastian hak atas wilayah/hutan adat, sehingga tidak ada lagi (meminimalkan) penetapan-penetapan status kawasan hutan di wilayah Masyarakat Adat yang diberikan tanpa sepengetahuan atau persetujuan dari masyarakat setempat. Selain itu, penguatan kelembagaan adat dalam pemerintahan dapat berjalan seimbang dalam mengelola kehidupan Masyarakat Adat. Serta Masyarakat Adat dapat memperoleh hak-hak dalam mengelola dan mengembangkan sendiri berbagai potensi yang ada di wilayahnya. Kerjasama antara Pemerintah dengan Masyarakat pun dapat meringankan beban dalam hal kontrol terhadap perlindungan kawasan Pegunungan Meratus yang tidak lain adalah Wilayah Masyarakat Adat itu sendiri.
"Sangat penting bisa kita pikirkan bersama-sama tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Hulu Sungai Tengah ini untuk keberlangsungan hidup masa depan anak cucu kita dan menyelamatkan kehidupan sekarang hingga nanti. Bagaimana kita menjaga warisan nenek moyang atau leluhur kita, sehingga keseimbangan alam dan isinya bisa selalu kita jaga dan lestarikan." paparan Ketua BPH AMAN HST Rubi. "

Tabi-tabi Maeh Sidi Sagalaan.
Salam Berdaulat, Mandiri, dan Bermartabat.

Penulis: Buletin AMAN HST

Sabtu, 18 Mei 2019

Legenda Datu Ayuh, Intingan, dan Kapala Pitu

Sumber: http://catatansinalinali.blogspot.com/2017/12/cerita-rakyat-dayak-meratus.html?m=1

Legenda "KAPALA PITU".

Sebuah cerita rakyat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan, versi orang Belanda.
Oleh : C.W Schűller, seorang staf pegawai controleur Belanda yang pernah bertugas di salah satu onderafdeeling di Hoeloe Soengai.
*******
Dahulu kala di pegunungan Meratus ada seorang putri bernama "Putri Bungsu". Dia anak seorang kepala suku Dayak yang menikah dengan  "Datu Makar" dari kampung Panggungan Loksado. Dan dari pernikahannya mereka dikaruniai seorang putra.

Pada saat kemarau panjang melanda kampung mereka, sungai Amandit yang selama ini menjadi urat nadi kehidupan mereka mengalami kekeringan. Hal ini membuat derita dan kesulitan yang luar biasa bagi orang yang hidup di kampung itu, sehingga memaksa Datu Makar dan Putri Bungsu mengembara untuk mencari sumber air lain. Dalam pengembaraannya pasutri ini membawa anak mereka, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya demi mendapatkan sumber air. Mereka terus mencari dan mencari, namun belum juga mendapatkannya, hingga akhirnya mereka sampai ke sebuah danau di tengah pegunungan yang juga kering di "TANAH ALAI" (Batang Alai kabupaten Hulu Sungai Tengah). Beberapa saat kemudian Putri Bungsu mendengar ada suara katak, sejenak ia berpikir, "biasanya katak hidupnya tidak bisa jauh dari air", lalu ia berkesimpulan bahwa dibalik permukaan lumpur dasar danau yang kering itu terdapat sumber mata air. Dia pun menyuruh suaminya untuk menggalinya. Dengan dibantu istrinya, Datu Makar mulai menggali dasar danau, sementara anak mereka dibiarkan bermain sendirian di bibir danau.
Di tengah mereka sibuk melakukan pekerjaannya, tiba-tiba air menyembur dengan dahsyatnya keluar dari tanah yang mereka gali. Dalam sekejap air memenuhi bahkan meluber dari danau tersebut hingga menyeret anak mereka yang sedang asik bermain di bibir danau. Datu Makar dan istrinya bergegas berusaha menolong anaknya yang menangis terseret air. Berbagai cara mereka dilakukan, namun usaha mereka selalu gagal, sang anak pun lenyap bersama derasnya arus air. Hal ini membuat keduanya menangis dan bersedih di tempat itu selama puluhan tahun.
*******
Sementara itu, anak mereka terus hanyut dibawa air, setiap kali kepala sang anak terbentur batu, maka tumbuh sebuah kepala baru, hingga akhirnya hanyut sampai ke laut sang anak memiliki tujuh buah kepala yang dalam bahasa setempat disebut "KAPALA PITU".
Puluhan tahun Kapala Pitu tinggal di tepi laut dan tidak pernah diketahui orang. Di sini ia melakukan pertapaan hingga ia mendapatkan kesaktian berupa air liur dan kata sumpah yang bisa merubah sesuatu menjadi batu.
Sampai suatu saat ia teringat akan orang tuanya dan berniat untuk mencarinya.
*******
Dia mulai berjalan kaki menaiki gunung untuk mencari kedua orang tuanya, hingga akhirnya ia sampai di sebuah kampung yang terletak di pinggir sungai. Di kampung ini berdiri sebuah "BALAI" (rumah adat besar Dayak Meratus yang dihuni beberapa kepala keluarga) yang salah satu penghuninya adalah SANG PIATU anak dari seorang perempuan miskin yang bernama RANGDA BALU. Setiap hari Sang Piatu bolak balik ke kota dengan menggunakan sebuah "BENAWA" (perahu berkepada naga khas suku Banjar) untuk menjual hasil kebun dan hutan yang kemudian uangnya digunakan untuk membeli keperluan sehari-hari.
Kapala Pitu bertanya kepada Sang Piatu tentang siapa pemilik balai tersebut, Sang Piatu menjawab dengan angkuh, bahwa balai itu miliknya, mendengar jawaban itu, Kapala Pitu sangat marah karena merasa dibohongi oleh Sang Piatu si anak miskin , lalu ia meludahi dan mengutuk Sang Piatu, ibunya, benawa dan hewan peliharaannya menjadi batu. Yang di kemudian hari bernama : BATU LAKI, BATU BINI, BATU BENAWA, BATU HAYAM, BARU BABI dan lain-lain.

Masih dalam keadaan kesal dan marah, Kapala Pitu meneruskan perjalanannya, di tengah perjalanan ia bertemu dengan wanita hamil yang sedang mandi di sungai, ia pun lantas bertanya tentang orang tuanya. Wanita itu menjawab "tidak tahu", maka Kapala Pitu meludahinya lalu mengucapkan kata kutukan : "Pui !! Jadi batu !!". Maka wanita itu pun berubah menjadi batu, yang kemudian dikenal dengan nama BATU BATIAN.

Kapala Pitu terus berjalan, kali ini ia memasuki sebuah kampung yang banyak terdapat tumpukan tulang, lantaran penduduknya tewas semua akibat serangan wabah penyakit, kemudian ia meludahi tumpukan tulang itu dan menyihirnya menjadi batu, maka kampung itupun bernama "BATU TIMBUN TULANG".

Hingga akhirnya Kapala Pitu sampai ke sebuah kampung yang didiami oleh Datu Palui yang sebelumnya telah mendengar berita, bahwa ada orang sakti berkepala tujuh yang sedang mencari kedua orangtuanya, dan ia akan meludahi serta mengutuk siapa saja yang tidak bisa menunjukkan tempat keberadaan orangtuanya menjadi batu.
(Menurut masyarakat Dayak Meratus namanya bukan Datu Palui tapi Datu Ayuh/Dayuhan... entah kenapa orang Belanda menulisnya Datu Palui.
Dalam cerita ini saya menggunakan "DATU PALUI" karena itu teks aslinya).

Kapala Pitu memanggil-manggil penghuni kampung, namun tidak ada seorangpun yang menyahutnya. Sementara itu, Datu Palui mengintip gerak-gerik Kapala Pitu dari celah lobang dalam rumahnya.
Lantaran tidak ada jawaban, Kapala Pitu pun mulai meludahi rumah dan mengubahnya menjadi batu. Melihat hal ini, Datu Palui segera keluar rumah dan berlari sambil teriak memanggil Kapala Pitu. Ini untuk memancing agar Kapala Pitu mau mengikutinya sehingga kampungnya terhindar dari kehancuran karena kutukan Kapala Pitu. Dan usahanya pun berhasil.

Datu Palui terus berlari dalam kejaran Kapala Pitu mendatangi adiknya yang bernama Intingan yang tinggal di kampung lain untuk memberi tahukan kedatangan Kapala Pitu dan sekaligus untuk meminta bantuan dalam menghadapinya.
*******

Datu Palui dan Intingan lari ke dalam hutan sambil berpikir bagaimana cara yang tepat untuk membunuh Kapala Pitu ??
Awalnya mereka berdua menebang pohon Binuang besar, mereka berharap nantinya ketika pohon itu roboh menimpa Kapala Pitu, namun sebelum pohon itu tumbang, Kapala Pitu keburu datang dan meludahi mereka, tapi cepat-cepat keduanya menyekanya sebelum sempat Kapala Pitu mengucapkan kutukannya, sehingga mereka terhindar menjadi batu.

Datu Palui dan Intingan terus berlari dari gunung ke gunung, dari hutan ke hutan untuk menghindar dari kejaran Kapala Pitu. Dalam sebuah hutan mereka bertemu dengan sebatang pohon Upas, lalu mereka bertanya padanya : "Seberapa dahsyat racun yang terkandung dalam getah pohonmu ?". Pohon Upas menjawab : "Getahku ini mampu membunuh orang dalam waktu 1 jam". Mereka pun mengambil getah pohonnya.
Kemudian mereka berpindah ke pohon-pohon lainnya dan selalu bertanya tentang kedahsyatan racunnya, ini mereka lakukan untuk mencari getah racun yang lebih cepat mematikan. Usaha mereka berhasil, mereka menemukan 2 macam getah pohon beracun, yang satu mampu membuat orang mati dalam 7 menit dan satunya lagi hanya dalam hitungan detik. Ketiga getah racun ini mereka kombinasikan menjadi satu, hingga menghasilkan ramuan racun yang sangat mematikan dan kemudian mereka oleskan pada anak sumpit

Datu Palui dan Intingan pergi ke danau tempat Putri Bungsu dan Datu Makar (orang tua Kapala Pitu) tinggal. Ternyata Kapala Pitu sudah ada di sana, ia menyatakan kepada Putri Bungsu dan Datu Makar kalau ia adalah anak mereka. Lantaran ia memiliki kepala tujuh, maka mereka berdua tidak mengenalinya. Hal ini membuat Kapala Pitu marah, hingga ia meludahi dan mengutuk kedua orang tuanya menjadi batu.

Datu Palui dan Intingan menghadang Kapala Pitu di sebuah jalan yang akan dilewati Kapala Pitu. Mereka bersembunyi di kedua sisi jalan dengan bersenjatakan sumpit. Tak lama kemudian, Kapala Pitu muncul sambil ketujuh kepalanya berbicara satu sama lainnya. Pada saat mulutnya terbuka, mereka menyumpitnya hinggal kedua anak sumpit yang telah diolesi getah racun itu masuk ke dalam mulut dan mengenai tenggorokannya. Kapala Pitu sempat meludah, namun beberapa detik kemudian ia roboh dan mati sebelum sempat melontarkan kata-kata kutukannya.... SEKIAN.
*******
Cerita ini disadur dari buletin "TROPISCH NEDERLAND" yang terbit pada tanggal 30 Juni 1930 dan diterjemahkan dengan "GOOGLE TERJEMAHAN".....

Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Meratus, jasad Kapala Pitu kemudian berubah menjadi "Gunung Kapala Pitu".
Puncaknya berada di ketinggian 1474 meter dari permukaan laut.

Penulis menambahkan, sebelum Kapala Pitu mati ia sempat meludah dan sedikit mengenai jari kelingking Datu Palui atau Datu Ayuh, namun dengan cepat di kibaskannya sehingga jatuh ketanah dan menjadi batu yaitu BATU SABIGI.
*******
Terimakasih.

Sejarah Dayak dan Banjar

http://banjarkuumaibungasnya.blogspot.com/2010/06/orang-banjar-dan-dayak-di-kalimantan.html?m=1

Selama berabad-abad, orang Dayak sudah menjadi bawahan politik kepada kekuasaan lokal, nasional dan kolonial. Secara lebih khusus, hubungan antara Kesultanan Banjar dengan orang Dayak mungkin ada persamaannya dengan hubungan antara Kesultanan Kutai dengan orang Dayak di Kalimantan Timur. Mengikut Magenda 1991: 2) sebelum masa penjajahan Belanda, wilayah kekuasaan Kesultanan Kutai meliputi orang Dayak di pedalaman, malah pada akhir abad ke-15, kesultanan itu sesungguhnya sudah menjadi persekutuan yang longgar yang terdiri daripada komuniti Dayak dengan seorang raja Melayu dipuncak kekuasaannya. Namun, Kesultanan Kutai yang baru pada awal abad ke-16 adalah kesultanan Melayu par excellence, serupa dengan kesultanan Melayu lainnya didaerah Pesisir Sumatra dan Kalimantan. Baik Magenda (1991) mahupun Rousseau (1990) menyatakan bahawa orang Kutai berusaha menguasai orang Dayak, tetapi mereka tidak dapat melakukan sepenuhnya kerana orang Dayak boleh berpindah lebih jauh ke pedalaman. Keadaan demikian diperkirakan berlaku juga di Kalimantan Selatan dalam perhubugan antara orang Banjar dengan orang Dayak Malah, di Kalimantan Selatan pernah berlaku pemberontakan oleh suku Dayak terhadap Sultan Banjamasin, Sultan Sulaiman pada tahun 1824-1825. Pemberontakan itu dilakukan oleh orang Dayak Bakumpai, di bawah pimpinan Pembakal (Kepala) Kendet, ketua mereka. Walaupun isterinya adalah keluarga Sultan, tetapi sejak 1816 lagi hubungannya dengan Sultan tidak begitu baik. Sultan tidak berupaya menundukkannya, dan ia hanya dapat dikalahkan dengan bantuan Belanda pada tahun 1825. Ia dijatuhkan hukuman mati pada 7 Maret di tahun tersebut (Helius Sjamsudddin 2001: 50). Walau bagaimanapun, dalam sejarah Kalimantan Selatan hubungan antara orang Banjar dengan orang Dayak juga dicirikan oleh hubungan persaudaraan dan ikatan kekeluargaan, kerana adanya perkahwinan yang kerap antara Raja Banjar dengan puteri Dayak. Misalnya, dari tradisi lisan suku Dayak Ngaju diketahui bahawa isteri Raja Banjar pertama yang bernama Biang Lawang adalah etnik Dayak Ngaju. Isteri kedua Raja Banjar pertama yang bernama Noorhayati, menurut tradisi lisan suku Dayak. Maayan, berasal dari etnik mereka. Dalam Hikayat Banjar pula ada disebut bahawa salah seorang isteri Raja Banjar ketiga, Sultan Hidayatullah juga puteri Dayak, iaitu puteri Khatib Banun, seorang tokoh Dayak Ngaju. Dari rahim puteri ini lahir Marhum Panembahan yang kemudian naik takhta dengan gelaran Sultan Mustainbillah. Puteri Dayak berikutnya ialah isteri Raja Banjar kelima, Sultan Inayatullah, yang melahirkan Raja Banjar ketujuh, Sultan Agung. Dan Sultan Tamjidillah (putera Sultan Abdulrahman bin Sultan Adam) juga lahir dari seorang puteri Dayak berdarah campuran Cina, iaitu Nyai Dawang. Sementara itu, dari perkawinan Pangeran Antasari dengan Nyai Fatimah, saudara perempuan Tumenggung Surapati kepala suku Dayak Siang Murung, lahir Sultan Muhamad Seman, yang kemudian meneruskan perjuangan ayahnya menentang Belanda, sehingga gugur oleh peluru Belada pada tahun 1905. Dalam masa perjuangan itu, Muhammad Seman telah mengahwini dua puteri Dayak dari suku Dayak Ot.Danum. Anak Sultan Muhamad Seman, Gusti Berakit juga mengahwini puteri kepala suku Dayak yang tinggal di tepi sungai Tabalong pada tahun 1906. Hubungan persahabatan yang erat antara orang Banjar dengan Dayak jelas kelihatan apabila kedua-dua suku itu berjuang bersama-sama melawan Belanda dalam Perang Banjar (1858-1905). Meskipun ketika berlakunya peperangan itu tidak dinafikan ada ketua suku Dayak yang berpihak di sebelah Belanda, tetapi penyertaan dan sokongan suku Dayak dalam Perang Banjar itu nampaknya sangat terserlah. Dalam peperangan yang memakan masa yang agak panjang itu, ramai pahlawan perang itu terdiri daripada etnik Dayak, antaranya yang paling menonjol ialah Tumenggung Surapati, Panglima Batur (dari suku Dayak Siang Murung), panglima Unggis, Panglima Sogo, Panglima Batu Balot (seorang wanita), dan panglima Wangkang (dari suku Dayak Bakumpai). Pada zaman kolonial Belanda pula, hubungan persaudaraan dan ikatan keluargaan antara orang Banjar dengan orang Dayak masih berterusan. Namun, berbanding dengan orang Dayak, lebih banyak orang Banjar yang berpeluang memasuki birokrasi kolonial, sekurang-kurangnya sebagai pegawai rendah. Dengan itu, orang Dayak terus menjadi subordinat kepada orang Banjar yang menjadi pegawai kerajaan kolonial itu seperti pada zaman Kesultanan juga. Hubungan Orang Banjar dan Dayak Masa Kini Walaupun orang Banjar dan orang Dayak berasal dari masa silam yang sama, tetapi kini masa silam yang sama itu mungkin tidak penting lagi. Yang lebih menonjol kini ialah identitas yang baru – orang Banjar dan orang Dayak adalah dua kumpulan etnik yang berbeda Dan atas identiti baru itu, dua suku yang bertetangga – Banjar dan Dayak -- telah terlibat dengan persaingan dalam pelbagai bidang kehidupan. Dengan itu, Hairus Salim (1996: 227) menganggap bahawa hubungan orang Banjar dengan orang Dayak kini ialah hubungan yang “tak selalu mesra”.

Hubungan orang Banjar dengan orang Dayak yang tidak selalu mesra itu telah diungkapkan oleh Anna Lowenhaupt Tsing (1993), seorang ahli antropologi dari Universiti California, dalam kajiannya tentang Dayak Meratus atau Dayak Bukit, yang banyak bermukim di sekitar pergunungan Meratus di Kalimantan Selatan. Walaupun “hubungan kultural” antara orang Banjar dan Dayak telah “terputus” apabila “Banjar” ditegaskan sebagai identiti mereka yang beragama Islam, dan orang Dayak pula ialah orang yang “bukan Islam”, tetapi menurut Tsing (1993) hubungan ekonomi dan politik yang berasaskan kawasan antara kedua-dua suku tetap berlangsung terus. Hubungan ekonomi dan politik yang berasaskan kawasan itu pada masa kebelakangan ini diatur oleh “pentadbiran negara”.

Dari segi ekonomi, orang Banjar sebenarnya terlibat dengan hubungan perdagangan yang intensif dengan suku Dayak Meratus, malah merekalah yang menjadi perantara bagi perkembangan ekonomi wilayah (Hairus Salim 1996: 230). Orang Banjar mendominasi pasar minggu kecil dihujung jalur yang menuju pegunungan Meratus. Keperluan-keperluan suku Dayak seperti pakaian, garam, perkakas logam dan barang-barang mewah lainnya disalurkan oleh orang Banjar. Sementara itu dengan berjalan kaki atau naik rakit, orang Dayak Meratus datang ke pasar tersebut untuk menjual rotan, getah, kacang, kayu ulin, kayu kemenyan dan hasil-hasil hutan yang lain kepada orang Banjar, yang kemudian menjualnya juga ke bandar. Walau bagaimanapun, hubungan perdagangan antara orang Banjar dengan orang Dayak itu berlangsung dalam keadaan yang sangat tidak seimbang. Sebagai perantara, orang-orang suku Banjar mempunyai kedudukan tawar menawar yang lebih tinggi. Mereka boleh menetapkan harga mengikut kemahuan mereka, yang menyebabkan suku Dayak Meratus selalu merasa dirugikan.

Akan tetapi, orang Dayak tidak dapat berbuat apa-apa, kerana mereka tidak mempunyai pilihan lain. Selain itu, orang-orang Dayak Meratus juga tidak berpuas hati kerana mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mendapatkan kredit daripada pedagang Banjar; jauh dari pemilik sarana pengangkutan, truk atau motorboat, gudang, dan tempat pengeringan getah, yang semuanya dimiliki oleh orang Banjar; tidak mempunyai jaringan untuk mendapatkan modal, kemudahan-kemudahan penyimpanan, dan tempat tinggal di bandar Banjarmasin; akses yang sangat terbatas untuk mengetahui keadaan pemasaran dan seterusnya (Tsing 1993: 55-56). Perhubungan perdagangan yang tidak seimbang itu, diperkuatkan pula oleh hubungan orang Banjar yang rapat dengan “negara”. Orang Banjar adalah penguasa politik pada peringkat wilayah. Bahkan kepentingan negara di kalangan suku Dayak diartikulasikan oleh kepentingan-kepentingan suku Banjar. Di daerah Meratus, ‘’kepentingan negara” menjelma menjadi kepentingan orang Banjar. Ini ialah kerana pegawai-pegawai pemerintah pada peringkat kabupaten dan kecamatan, dan pegawai tentera, pertanian dan kesihatan yang melakukan hubungan dengan orang Dayak ialah orang-orang suku Banjar. Dengan itu, negara dan kepentingan nasional tampil di kalangan Dayak Meratus dengan wajah Banjar. Wajah “negara” dalam artikulasi kepentingan suku Banjar itu diperlihatkan Tsing (1991) misalnya dalam dasar negara mengenai pembangunan masyarakat terasing pada tahun 1970-an. Dalam pentadbiran dasar itu, pada tahun 1971 suku Dayak Meratus dimasukkan sebagai salah satu dari masyarakat terasing. Maka pegawai pemerintah yang kebanyakannya terdiri daripada orang Banjar telah membuka hutan untuk menjadi tempat tinggal baru bagi orang Dayak Meratus. Bagaimanapun, dengan pembukaan hutan itu, orang Banjar juga mendapat kesempatan untuk berpindah ke kawasan baru tersebut, dengan jaminan mendapat perkhidmatan dan tanah. (Tsing 1991: 45). Sebagai akibatnya, tidak lama selepas itu, pemukiman baru itu telah didominasi oleh orang Banjar, kerana penguasaan mereka terhadap jalur perdagangan dan politik wilayah. Sementara itu, orang Dayak Meratus sendiri terus tersingkir, bahkan kemudian banyak yang pulang ke tempat mereka yang asal.

Tidak dinafikan masyarakat Dayak Meratus berpeluang mengenal kemajuan melalui pelbagai dasar negara yang diartikulasikan oleh pegawai pemerintah dari suku Banjar. Mereka mempelajari ekonomi global daripada pedagang Banjar. Orang Meratus juga mengenali birokasi negara di tingkat wilayah melalui orang Banjar. Akan tetapi, hubungan itu tetap bersifat artifisial, kerana dalam banyak hal justru membuat orang Dayak semakin jatuh dan jauh terpinggir dari yang mereka alami sejak zaman pra-kolonial dan kolonial (Hairus Salim 1996: 231). Perhubungan orang Banjar dengan orang Dayak masa kini memasuki tahap yang baru, apabila mulai tahun 2000, suku Dayak Meratus terlibat dengan konflik yang agak serius dengan golongan penguasa Kalsel yang terdiri daripada orang Banjar. Hal ini berkaitan dengan dasar dan tindakan Sjachriel Darham, Gubernor Kalsel masa itu yang nampaknya tidak mengambil kira kepentingan orang Dayak. Sjachriel Darham telah membenarkan sebahagian Hutan Lindung Pegunungan Meratus, tempat tinggal orang Dayak, seluas 46,270 hektar, diberikan kepada perusahaan perkebunan berskala besar, PT Kodeco Group, yang berasal dari Korea Selatan.

Sebagaimana yang diketahui suku Dayak Meratus telah mendiami kawasan pegunungan Meratus itu sejak turun temurun. Hutan itu merupakan sumber kehidupan mereka, kerana memang di situlah tempat tinggal mereka sejak lama. Oleh itu, sudah tentu suku Dayak Meratus tidak menyetujui Hak Pengusahaan Hutan (HPT) kawasan hutan itu diserahkan kepada pengusaha besar. Apatah lagi pemberian konsesi kepada perusahaan dari Korea itu akan melibatkan alih fungsi sebahagian kawasan pergunungan Meratus dari hutan lindung kepada hutan produksi. Oleh itu, mendengar kawasan hutan lindung itu akan dijadikan kawasan Hak Penguasaan Hutan (HPH) Kodeco, ratusan warga masyarakat Dayak Meratus berkali-kali turun ke Banjarmasin untuk mengadakan tunjuk perasaan, sama ada kepada DPRP mahupun kepada Gabenor sendiri. Sejak tahun 1998 hingga awal 2000 dikatakan lebih 20 kali warga pedalaman itu mengadakan tunjuk perasaan ke Banjarmasin dengan tuntutan yang sama: menolak kawasan Meratus dijadikan kawasan HPH. Namun, tuntutan mereka tidak pernah diberi perhatian yang sewajarnya. (Kompas,1 Ogos 2001). Tuntutan warga Dayak Meratus itu akhirnya didengar oleh beberapa LSM. Mereka memberi sokongan dengan membentuk Aliansi Meratus yang merupakan gabungan 33 LSM. Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Kalsel (LMMD-KS) dan LSM Telapak Indonesia yang beribu pejabat di Bogor juga memberi sokongan moral kepada warga Dayak Meratus dengan mengecam Pemda Kalsel. Para aktivis itu jugalah yang meneruskan tuntutan warga Dayak Meratus, sama ada kepada Gabenor Sjachriel mahupun kepada DPRD tempatan. Namun, pihak Pemda bertindak balas untuk melumpuhkan gerakan itu dengan mengadukan Koordinator Aliansi Meratus, Hairansyah kepada pihak polis dengan tuduhan menghasut rakyat untuk mengadakan tunjuk perasaan. Ketika isu yang berkaitan dengan pemberian sebahagian hutan lindung Pegunungan Meratus kepada perusahaan besar itu belum lagi selesai, timbul pula isu lain yang melibatkan kawasan yang sama, iaitu pemberian hak melombong kepada pengusaha perlombongan emas, PT Meratus Sumber Mas oleh pemerintah daerah. Tindakan pemerintah daerah ini mendapat tentangan daripada kira-kira 750 orang perwakilan dari 300 balai (rumah besar pusat kegiatan adat) yang tersebar di seluruh Kalimantan Selatan, yang mengadakan kongres selama empat hari, berakhir pada 26 Jun 2003 di Samarinda (Kompas 1 Julai 2003). Namun, penentangan warga Dayak Meratus itu nampaknya tidaklah mendapat perhatian yang sepatutnya daripada pemerintah daerah yang dikuasai oleh orang Banjar. Oleh yang demikian, sebuah LSM terkenal yang prihatin tentang masalah alam sekitar, yaitu WALHI, dalam beritanya pada 2 Juni 2006 menyatakan: "...Hutan Lindung Meratus, kawasan hutan asli yang masih tersisa di Propinsi Kalimatan Selatan, “rumah terakhir” masyararakat Dayak Meratus saat ini menjadi kawasan yang paling terancam. Saat ini pemerintah dan pengusaha tambang serta perkebunan skala besar melakukan berbagai cara, termasuk memecah masyarakat Dayak Meratus melalui perubahan tapal batas antar kabupaten, sayangnya kebutuhan masyarakat bertolak belakang dengan keinginan pemerintah daerah (Walhi 2006)."

Apabila disebut pemerintah daerah tentulah merujuk kepada orang Banjar, kerana orang Banjarlah yang merupakan penguasa pada peringkat tersebut. Ini bermakna konflik antara orang Dayak dengan orang Banjar masih berterusan. Kesimpulan Meskipun orang Banjar berasal dari orang Dayak, ataupun dari percampuran orang Dayak dengan pelbagai suku yang lain, tetapi setelah orang Banjar memeluk agama Islam dan menubuhkan kerajaan Islam Banjar, “perpisahan” antara kedua suku itu nampaknya sudah merupakan sesuatu yang berkekalan. Mungkin sejak zaman dahulu lagi, orang Dayak yang tidak memeluk agama Islam memilih tinggal di kampung yang berasingan dari kampung orang Banjar; di tempat yang umumnya terletak di pedalaman. Kemunculan kerajaan Islam Banjar pada abad ke-16, nampaknya menandakan bermulaanya kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar, kerana orang Banjar adalah kelas pemerintah yang wilayah pemerintahannya meliputi juga kawasan yang didiami oleh orang Dayak. Kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar ini boleh dikatakan tidak berubah pada zaman penjajahan dan lebih jelas lagi pada zaman selepas kemerdekaan, kerana pada zaman selepas kemerdekaan memang orang Banjarlah yang menduduki jawatan penting dalam pemerintahan daerah, di samping mereka juga yang menguasai perdagangan yang melibatkan orang Dayak. Jika kita lihat hubungan orang Banjar dengan orang Dayak pada masa mutakhir, hubungan mereka nampaknya bukan sahaja tidak mesra, malah sudah melibatkan konflik yang agak serius. Hubungan tidak mesra itu sudah kelihatan sejak lama, melibatkan golongan pedagang Banjar dan penguasa Banjar, yang jelas lebih berkuasa ke atas orang Dayak Kini timbul pula isu baru yang menimbulkan konflik, iaitu tindakan pemerintah daerah yang diketuai oleh Gabenor dari etnik Banjar yang memberikan kawasan hutan tempat tinggal orang Dayak Meratus kepada pengusaha perkebunan dan perlombongan besar. Tidaklah dinafikan pemberian kawasan hutan untuk diusahakan oleh pengusaha besar itu ada juga faedahnya kepada orang Dayak, misalnya dari segi wujudnya peluang pekerjaan, dan mungkin terbinanya jalan yang akan menghubungkan kawasan tempat tinggal orang Dayak dengan kawasan bandar. Namun, sebagaimana yang terbukti dari kajian di tempat lain, (lihat Syarif Ibrahim Alqadrie 1994, 244-260; Patingi Y.A.Aris 1994, 261-66), kesan negatif dari aktiviti pembukaan kawasan hutan dan perlombongan itu kepada kehidupan penduduk setempat jauh lebih banyak dari kesan positifnya. Itulah sebabnya orang Dayak tidak menyetujui kawasan hutan tempat tinggal mereka diberikan kepada pengusaha besar. Walau bagaimanapun, kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar nampaknya tidak memungkinkan mereka menentang dasar pembangunan penguasa Banjar yang merugikan mereka, dan dengan itu sangatlah sukar mereka keluar dari kehidupan mereka yang mundur dan terpinggir. Barangkali orang Dayak hanya mungkin keluar dari keadaan mundur dan terpinggir itu, setelah melalui satu masa yang agak lama, khasnya setelah mereka mencapai taraf pendidikan yang memadai dan dengan itu dapat menduduki jawatan penting dalam pemerintah daerah, sama ada dalam bidang birokrasi mahupun politik. Memang sebagaimana yang sering berlaku, orang Dayak hanya mungkin bermobiliti ke atas, walaupun agaknya secara beransur-ansur, melalui jalan pendidikan.

Post: Buletin AMAN HST

Senin, 22 April 2019




Sebuah harapan baru bagi Masyarakat Adat Dayak Pegunungan Meratus, pada hari ini Selasa 23 April 2019. Ketua BPH AMAN HST Rubi, Advokasi Bapak Abdul Mughni, Manajemen&Keuangan Sahliwan, serta perempuan AMAN HST Rahmi Lawati mewakili Masyarakat Adat bertemu dengan Assisten II Bupati HST Bapak H. Pandiansyah,mengambil SK Bupati Hulu Sungai Tengah.
Pemerintah Daerah mengawali tahun 2019 dengan suatu tindakan nyata kepada Masyarakat Adat, dengan terbitnya Surat Keputusan Bupati No 140/90/411.43 Tahun 2019 tentang Pembentukan Panitia Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Hulu Sungai Tengah sebagai wujud dari tanggungjawab Pemerintah Daerah dan komitmen untuk menyelamatkan serta menjaga Meratus baik itu masyarakatnya hingga alamnya.
Setelah lebih dari 6 tahun akhirnya Masyarakat Adat menemukan titik terang.
Bersama dengan Pemerintah Daerah, AMAN HST, dan Tokoh Masyarakat serta Tokoh Adat, membina Murakata dan kekayaan Meratus Hulu Sungai Tengah.
Sebagai langkah awal menuju Peraturan Daerah Masyarakat Adat Hulu Sungai Tengah bisa segera terwujud.

Penulis : Infokom AMAN HST

Minggu, 17 Maret 2019

*Pidato Sekretaris Jendral*
*Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)*

*Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara*
*17 Maret 2019*


“Meneguhkan Tekad, Memperkuat Akar, Mengedepankan Solusi”


Hidup Masyarakat Adat!
Masyarakat Adat Bangkit Bersatu! Berdaulat!
Bangkit Bersatu! Mandiri!
Bangkit Bersatu! Bermartabat!

Pertama-tama, ijinkan saya menyampaikan hormat kepada semesta, para leluhur masyarakat adat, dan puji syukur kepada Yang Maha Kuasa Pencipta Alam Semesta untuk kebahagiaan kita pada hari yang sangat bersejarah ini.

Bapak, Ibu, saudara-saudaraku, pimpinan dan anggota Dewan AMAN Nasional dari 7 region yang saya hormati, seluruh Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah, Organisasi Sayap, Badan Otonom dan Lembaga Ekonomi AMAN yang saya banggakan, seluruh Komunitas Anggota AMAN di penjuru Nusantara yang saya muliakan, serta para sahabat yang telah setia berjuang bersama Masyarakat Adat selama ini.

20 tahun lalu, utusan Masyarakat Adat dari seluruh pelosok Nusantara, bersama para pejuang hak-hak Masyarakat Adat berkumpul di Hotel Indonesia, Jakarta, merajut asa menyusun barisan melalui Kongres Masyarakat Adat Nusantara. Kongres pertama ini mendeklarasikan Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara dan bersepakat membentuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai wadah perjuangan bersama untuk meraih pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap eksistensi Masyarakat Adat dan hak adatnya yang azasi.  Bangkit bersatu bergerak bersama merebut kembali kedaulatan Masyarakat Adat sebagai bagian dari rakyat Indonesia, sebagai warga negara yang setara dengan warga negara yang lain, juga sebagai penyandang hak-hak konstitusional di dalam Negara Republik Indonesia sesuai amanat UUD 1945.

Mengapa Masyarakat Adat harus bangkit bersatu dan bergerak bersama?

Bapak Ibu dan saudara-saudaraku yang saya muliakan,

Selama puluhan tahun sejak Indonesia merdeka di tahun 1945, Masyarakat Adat masih terus mengalami berbagai bentuk penindasan, pengabaian dan perampasan atas hak-hak asal-usulnya. Kemerdekaan Indonesia sebagai Negara-Bangsa di tahun 1945 tidak otomatis membebaskan Masyarakat Adat dari beragam bentuk penjajahan. Bahkan di masa Rejim Orde Baru bentuk-bentuk penjajahan bagi Masyarakat Adat itu terasakan lebih meluas dan jauh lebih berat dari masa-masa sebelumnya. Dimana-mana terjadi perusakan dan perampasan wilayah-wilayah adat, kriminalisasi dan kekerasan terhadap warga adat, serta diskriminasi dalam bidang ekonomi, politik, hukum, maupun sosial budaya. Oleh sebab itu, sejak pertengahan tahun 1980-an, perlawanan Masyarakat Adat terhadap berbagai kebijakan pemerintah mulai bermunculan secara sporadis di berbagai wilayah Indonesia. Situasi ini, kemudian mendorong terbentuknya sebuah wadah yang diberi nama Jaringan Pembela Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang dipelopori para tokoh adat, akademisi, pendamping hukum dan aktivis gerakan sosial pada tahun 1993, di Toraja-Sulawesi Selatan. Pembentukan jaringan ini telah menanam benih persatuan perjuangan bersama di kalangan pemimpin gerakan Masyarakat Adat yang terus bertumbuh di seluruh pelosok Nusantara.

Pertumbuhan semangat dan kepemimpinan persatuan gerakan inilah yang kemudian memungkinkan terselenggaranya Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) pertama. Lewat Kongres ini, para pemimpin perjuangan Masyarakat Adat menyatukan semangat dan komitmen bersama untuk mengingatkan kembali para penyelenggara Negara dan seluruh elemen bangsa tentang tujuan mulia berdirinya Negara Republik Indonesia, melakukan koreksi atas perjalanan bangsa yang sudah tidak lagi sesuai dengan cita-cita luhur Pendiri Bangsa sebagaimana dituangkan dalam Pancasila dan UUD 1945, dan menegaskan kembali posisi Masyarakat Adat terhadap Negara.

Lewat Kongres pertama ini Masyarakat Adat kembali menegaskan posisinya terhadap Negara dalam Pandangan Dasar Kongres yang menyatakan bahwa “Kami sudah sejak dulu ada sebelum Negara Republik Indonesia.” dan  oleh sebab itu “Jika Negara Tidak Mengakui Kami, maka Kami Tidak Mengakui Negara.”

Bapak, Ibu, Saudara, Saudari sekalian,
Untuk memastikan komitmen perjuangan bersama yang sudah digariskan oleh Kongres inilah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dibentuk 20 tahun lalu.  20 tahun merupakan waktu yang cukup untuk kita merefleksikan secara mendalam perjalanan perjuangan Masyarakat Adat Nusantara. Geliat AMAN sebagai wadah berjuang bagi Masyarakat Adat Nusantara tentunya mengalami pasang dan surut. Dinamika politik nasional dan global kadang bersahabat, kadang tak jarang menghadirkan badai. Pada tingkat internasional, AMAN telah terlibat sejak penyusunan Draf United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) hingga isu Hak Asasi Manusia, perubahan iklim, dan isu-isu lainnya. Sementara di tingkat nasional, AMAN telah berjuang untuk mengubah hukum-hukum yang represif antara lain dengan menguji materi UU Kehutanan yang kemudian melahirkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012. Juga terlibat aktif dalam Inkuiri Nasional yang dilakukan oleh Komnas HAM tentang Pelanggaran hak-hak Masyarakat Adat di Kawasan Hutan, mendorong masuknya peta wilayah adat dalam One Map Policy, hingga memperjuangkan masuknya 6 tuntutan masyarakat adat dalam Visi dan Misi Presiden Republik Indonesia yang dikenal dengan NAWACITA. Tidak hanya itu, AMAN juga berjuang hingga daerah dengan mendorong pembentukan produk hukum daerah yang mengakui Masyarakat Adat dan hak-haknya.

Meski tak mudah, AMAN terbukti mampu melalui masa-masa penuh tantangan, mengambil pilihan-pilihan strategis dalam rangka merespon dinamika politik nasional dan global. Sejak berdiri tahun 1999 hingga tahun 2007, AMAN pernah tampil konfrontatif dengan Negara untuk menegaskan posisinya terhadap Negara, menunjukkan kehadirannya sebagai gerakan sosial yang tumbuh dari realitas sosial di kampong-kampung adat dan sekaligus memperkuat pondasi solidaritas, rasa senasib-sepenanggungan di antara sesama Masyarakat Adat. Perjuangan konfrontatif ini mendapatkan beragam respon dari penyelenggara Negara dan berbagai pihak. Dengan perjuangan yang konsisten, respon positif terhadap kehadiran AMAN terus bertambah. Respon positif inilah yang membantu AMAN mengubah tampilan perjuangan dari konfrontasi ke dialog, full engagement, sejak tahun 2007. Strategi ini kita ambil karena pemerintah mulai menunjukkan keterbukaan pada tuntutan-tuntutan Masyarakat Adat. Pilihan strategi tersebut mengharuskan AMAN masuk ke dalam proses-proses pengambilan keputusan politik dan teknokratik yang berpengaruh pada kehidupan Masyarakat Adat. Organisasi yang bertumbuh cukup stabil di tingkat wilayah dan daerah juga mendukung perubahan strategi ini dengan rasa percaya diri yang lebih kuat.

Banyak tantangan yang kita hadapi dalam melaksanakan strategi ini. Tuntutan Masyarakat Adat tak selalu disambut sebagaimana mestinya. Masyarakat adat yang memperjuangkan haknya termasuk hak atas wilayah adat (tanah, hutan, dan air) sebagian besar menemui jalan buntu. Pemerintah masih saja mempertahankan sikap abai dan memaksakan kehendaknya sendiri untuk menunda, mempersulit atau bahkan dengan sengaja membiarkan pelanggaran-pelanggaran terhadap Masyarakat Adat terjadi di lapangan. Beberapa bukti dari mengakar kuatnya sikap tersebut adalah dengan tidak adanya keberanian untuk mengubah UU Kehutanan yang terbukti menghambat pelaksanaan putusan MK 35/2012. Begitu pula dengan ketidakjelasan sikap pemerintah dalam mempercepat pembahasan RUU Masyarakat Adat yang sudah dijanjikan Presiden dan Wakil Presiden dalam NAWACITA.

AMAN menyadari bahwa berbagai pelanggaran terhadap hak Masyarakat Adat bersumber dari politik hukum yang memang dirancang untuk abai pada kepentingan Masyarakat Adat. Pendekatan dialog dan kemitraan dengan Pemerintah tidak cukup! AMAN harus masuk ke politik elektoral secara bermartabat. Untuk itu, sejak tahun 2009 AMAN mendorong kader Masyarakat Adat untuk ikut bertanding di dalam gelanggang Pemilu dan Pemilukada sehingga mereka dapat masuk di badan-badan legislatif maupun eksekutif sebagai perancang, pembuat dan pelaksana kebijakan publik. Sejak tahun 2009, puluhan kader Masyarakat Adat telah berhasil masuk ke badan legislatif maupun eksekutif terutama di daerah. Sebagian besar dari mereka telah menjadi motor penggerak lahirnya Peraturan-Peraturan Daerah tentang Masyarakat Adat di berbagai daerah.

Partisipasi politik Masyarakat Adat tersebut kembali ditingkatkan pada tahun 2019 ini dengan mendorong ratusan kader-kader terbaiknya untuk terlibat di dalam pemilu legislatif. Langkah perjuangan ini didasari pada fakta bahwa berbagai pelanggaran hak Masyarakat Adat disebabkan oleh karena hukum dan kebijakan disusun oleh orang-orang yang tidak memahami persoalan Masyarakat Adat atau orang-orang yang memiliki kepentingan berbeda dengan Masyarakat Adat. Untuk itu, Masyarakat Adat harus masuk ke dalam proses-proses pengambilan keputusan. Bukan sebagai partisipan, tetapi sebagai aktor pembentukan hukum dan kebijakan. Karena itu, mengutus kader Masyarakat Adat untuk bertanding di Pemilu Legislatif tahun 2019 bagi AMAN adalah pilihan yang tepat. AMAN percaya, bahwa semakin banyak kader Masyarakat Adat di lembaga-lembaga eksekutif maupun legislatif akan membuat tuntutan pengakuan hukum, seperti Undang-Undang Masyarakat Adat semakin terbuka untuk tercapai. Apakah PEMILU 2019 tanggal 17 April 2019 nanti akan memandu perubahan pendekatan dan strategi lebih lanjut bagi AMAN? Ini pertanyaan buat kita semua para pemimpin dan penggerak AMAN!

Bapak Ibu dan saudara-saudaraku yang saya banggakan,

Sebagai organisasi yang dibentuk oleh Masyarakat Adat untuk mengorganisir diri sendiri, selama 20 tahun ini, AMAN semakin percaya diri, bahwa perjuangan yang dilakukan secara kolektif mampu meraih perubahan demi perubahan. Meskipun demikian, harus diakui pula, bahwa kekuatan Masyarakat Adat di seluruh nusantara belum secara optimal bergerak bersama. AMAN dihadapkan pada tantangan untuk berani memimpin usaha sistematik dalam melakukan pembaruan hukum dan lembaga adat sehingga prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, emansipasi, dapat dinikmati oleh seluruh warga Masyarakat Adat terutama kelompok perempuan, anak-anak, lanjut usia, orang-orang yang miskin karena perbedaan kelas, budaya, dan penyandang disabilitas.

Bapak Ibu dan saudara-saudaraku yang saya kasihi,

Di depan, tantangan tidaklah ringan. Negara belum sungguh-sungguh berubah. Sikap abai, mempersulit, bertele-tele, membuat lebih rumit, adalah sikap-sikap yang telah berakibat pada mandegnya berbagai agenda perubahan: Putusan MK 35/2012 sejauh ini hanya menghasilkan 30.000 hektar hutan adat, sementara RUU Masyarakat Adat jalan di tempat. Sementara di sisi lain, negara aktif merampas wilayah-wilayah adat. Kasus-kasus yang dialami Masyarakat Adat Laman Kinipan di Kalimantan Tengah, Masyarakat adat Rendu di Nagekeo Nusa Tenggara Timur, Masyarakat adat Seko di Sulawesi Selatan, dan kasus-kasus lainnya menunjukkan hal itu.

Bapak, Ibu, saudara-saudara yang berbahagia,
Di tengah situasi itulah AMAN membentangkan cita-cita bersama Masyarakat Adat untuk berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Sebuah cita-cita yang hanya akan tercapai jika AMAN mampu menggalang kebersamaan yang kokoh untuk selalu bergerak bersama. Sementara, AMAN dituntut untuk masuk, melebur dan memperkuat gerakan perubahan bersama dengan berbagai elemen masyarakat sipil dan pihak-pihak lain termasuk pemerintah.

Perjuangan Masyarakat Adat melampaui rezim, melintasi batas waktu. Kita masih jauh dari cita-cita kita bersama. Namun kita tidak menyerah. Semangat kita berasal dari 2.366 komunitas adat anggota kita yang setia dalam perjuangan, komitmen dari 21 Pengurus Wilayah, 119 Pengurus Daerah, semangat dari Organisasi Sayap AMAN, yakni semua Perempuan Adat yang menyatukan diri dalam Persekutuan Perempuan Adat AMAN, para pemuda dalam Barisan Pemuda Adat Nusantara, pembelaan dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara, serta inspirasi dari 2 Badan Otonom dan 3 Badan Usaha yang terus memberikan motivasi bahwa kita bisa!

Hari ini, Minggu, 17 Maret 2019, kita telah 20 tahun bangkit bersatu dan bergerak.  Setiap tahun kita merayakannya dan tahun inipun kita merayakannya dengan khidmat, di kampung-kampung adat, di rumah-rumah adat, di lahan-lahan dan wilayah adat kita, di Rumah-Rumah AMAN yang tersebar di seluruh pelosok. Kita merayakan hari besar ini dengan penuh suka cita dan rasa syukur atas perjalanan gerakan ini. Dengan penuh harapan kita menyerahkan langkah kita kepada Sang Pencipta Alam Semesta, Tuhan Yang Maha Kuasa dan bermohon restu para leluhur, agar kehidupan kita terus membaik, sampai suatu saatnya nanti Masyarakat Adat dan Bangsa Indonesia yang besar ini dapat kembali Berdaulat, Mandiri dan Bermartabat di Tanah-Airnya sendiri.

Akhirnya, kepada semua Masyarakat Adat di Nusantara, selamat merayakan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara! Selamat Ulang Tahun yang ke-20 AMAN! Teruslah tanggap membela, aktif melindungi dan cepat melayani Masyarakat Adat di mana pun!


Jakarta, 17 Maret 2019

Rukka Sombolinggi
Sekretaris Jendral AMAN

Jumat, 08 Maret 2019




Tabi-tabi Maih Sidi Sagalaan

Seminar Lokakarya tentang Menggagas PerDa Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Provinsi Kalimantan Selatan di Pendopo Bupati Hulu Sungai Tengah pada hari Selasa, 12 Februari 2019 yang dihadir oleh perwakilan 45 Balai Komunitas Adat terdaftar di AMAN dari Kecamatan Batang Alai Timur, Hantakan, dan Batang Alai Selatan serta Balai Komunitas yang belum terdaftar di AMAN. Kegiatan ini juga dihadiri oleh Demang HST, Kepala Adat Kecamatan Batang Alai Timur dan Kepala Adat Kecamatan Hantakan, serta tokoh masyarakat adat lainnya.
AMAN HST juga mengundang stakeholder dan Ormas serta LSM mitra AMAN di Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Narasumber dalam seminar tersebut adalah Monica K. N dan Tommy dari Pengurus Besar AMAN, H. Ainur Rafiq Asisten 1 Bupati, Nasruddin Komisi 1 DPRD HST, Subhani Kepala DPMD HST, M. Yani Kepala Dinas Lingkungan Hidup HST.
Hasil dari kegiatan tersebut adalah menyepakati dan menyamakan persepsi tentang pengagasan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Hulu Sungai Tengah.


Sumber  : Rubi, S. Pd
Editor     : Rahmi L.





Renstra dan Rakerda AMAN HST di Komunitas Balai Manta Desa Pembakulan Kecamatan Batang Alai Timur Hulu Sungai Tengah tanggal 8-10 Februari 2019 yang dihadiri oleh orang nomor 1 di AMAN, Sekjen AMAN Ibu Rukka Sombolinggi, Ibu Lusia


Dewan AMAN Nasional, dan Kak Mina Susana Setra, serta Kepala Desa Pembakulan Bpk Damanhuri dan Kepala Adat Kec. BAT Bpk. Haris ,beserta perwakilan tokoh Balai se Kec. Batang Alai Timur.
AMAN HST akan menjalankan program sesuai dengan hasil Renstra dan Rakerda,semoga AMAN HST kedepan menjadi lebih baik lagi dalam menjalankan perjuangan.



Sumber: RUBI
                KETUA BPH AMAN HST

KPAM CD AMAN HST

VISI DAN MISI KPAM

VISI

Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Masyarakat Adat dan Pendapatan yang layak bagi jaminan aktivis gerakan masyarakat adat.

MISI

1. Membentuk dan Mengelola usaha-usaha produksi di wilayah adat
2. Melakukan penanaman modal (investasi) untuk usaha diluar unit usaha KPAM yang sesuai dengan visi dan misi
3. Membangun kerjasama dengan pemerintah dan lembaga usaha yang sejalan dengan visi dan misi
4. Memasarkan hasil-hasil usaha produksi dari masyarakat adat

Toko Kita (ToKit)  adalah suatu bentuk  toko mungil  yang menjual barang dagangan eceran untuk memenuhi kebutuhan anggota KPAM, Staf di Kantor AMAN dan tamu-tamu maupun masyarakat umum.
ToKit  merupakan “pengejawantahan” pelayanan kepada anggota secara khusus juga dapat melayani masyarakat umum non anggota, agar merasa memiliki dan merasakan langsung semangat berkoperasi. ToKit memberikan kedekatan keseharian dalam manfaat berkoperasi dan sebagai unit usaha yang memberikan keuntungan bagi KPAM dan anggota karena keuntungan dari penjualan akan kembali ke anggota dalam bentuk Sisa Hasil Usaha (SHU).

ToKit tumbuh “organik” dan fokus dengan kekuatan dimulai dari kita (anggota) oleh kita untuk kita. Bermula dari modal penjualan kupon penyertaan modal.  Dari keuntungan yang di peroleh hanya angka seratus rupiah lalu ke seribu rupiah, bahkan saat ini menghasilkan keuntungan mencapai jutaan rupiah, semua bertujuan untuk mempraktekkan dan menghubungkan langsung antara pemodal, penjual dan pembeli yang  menghasilkan keuntungan yang dapat di nikmati bersama.

Hasil penjualan itu terus berputar, untuk membangun infrastruktur, membenahi sistem manajemen dan bisa tetap menghasilkan “cash flow” yang sehat. ToKit hadir,  meski dengan segala keterbatasan waktu, pembiayaan modal yang kecil dan sumberdaya manusia terbatas, hal ini karena konsepnya sebagai toko mungil yang dari kita, oleh kita dan untuk kita.

Untuk kedepannya, ToKit akan menjalankan penjualan produk hasil pertanian, hasil hutan non kayu dan hasil dari wilayah adat  lainnya dengan tetap menjaga sebagai toko mungil namun menjual dan menguntungkan sekala besar. Strategi usaha yang dilakukan untuk mendorong penjualan produk menjadi meningkat, penanganan kualitas lebih baik, peningkatan kuantitas yang seimbang dan dengan sistem pemasaran yang lebih luas serta dikelola oleh sumber daya manusia yang profesional.

KPAM CD HST melalui unit usaha ToKit bercita-cita akan membangun ToKit di semua komunitas anggota AMAN yang berjumlah 61 komunitas adat. Melalui ToKit, KPAM ingin  menanamkan slogan “Berhasil (berbagi hasil)”, dimana ToKit hadir untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam keseharian dan keuntungan juga dapat dinikmati bersama.
KPAM CABANG DAERAH HULU SUNGAI TENGAH
BADAN USAHA TOKO KITA KPAM CD HST
SEMANGAT BERHASIL (BERBAGI HASIL)
#saveekonomimeratus
#savemeratusHST
#selamatkankehidupan
#janganlupaperdaMA
#danjugaUUMA

 Penulis: Rahmi Lawati.