Jumat, 29 November 2019

Penantian Panjang Masyarakat Adat Hulu Sungai Tengah!!

Foto : Manugal

UUD 1945 melalui Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) telah mengakui keberadaan Masyarakat Adat, dan memandatkan untuk menghadirkan Undang-Undang turunan khusus yang melindungi dan menghormati hak Masyarakat Adat. Maka dari itu, kehadiran Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat ini sebenarnya dimaknai sebagai wujud negara melunasi utang konstitusi, dan manifestasi kehadiran negara di tengah Masyarakat Adat.
Masyarakat Adat itu merupakan subjek hukum alamiah. Ia bahkan hadir sebelum negara ini dideklarasikan. Masyarakat Adat tidak dibentuk oleh pemerintah atau negara, karena dia bukan lembaga. Tidak ada satu pun lembaga pemerintah yang berhak untuk mengatur keberlangsungannya; hanya cukup mengakui, dan menghormati keberadaan hak Masyarakat Adat sebagai manifestasi kehadiran negara di tengah setiap elemen masyarakat sesuai dengan amanat konstitusi.
Begitu banyaknya peraturan yang menjelaskan bahwa Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat melalui Peraturah Daerah adalah kebijakan dari Pemerintah Daerah itu sendiri, tanpa harus adanya Surat Edaran atau intruksi dari Pemerintah yang berada di atasnya. Dengan tidak melaksanakannya berarti Pemerintah pun tidak mengakui bahkan menghormati hasil keputusan-keputusan tersebut. Jadi sebenarnya yang tidak memahami itu adalah siapa??
Pemerintah Daerah memiliki peran sangat penting untuk pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat. Pasal 67 ayat (2) UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Terkait pasal tersebut, dalam membuat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah merupakan delegasi wewenang yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Konsisten dengan Pasal 67 ayat (2) UU No 41 tahun 1999 tersebut, dalam Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa “Penetapan pengakuan MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di Daerah kabupaten/kota merupakan urusan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota”; lalu Pasal 98 ayat (1) UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyatakan “Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.
Selain itu, Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat juga menyatakan “Gubernur dan bupati/walikota melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakathukum adat”; dan Pasal 6 ayat 1 huruf a Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015 Tentang Hutan Hak menyatakan “Terdapat masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah diakui oleh pemerintah daerah melalui produk hukum daerah”. Demikian pentingnya peran Pemerintah Daerah dan keberadaan Peraturan Daerah, maka percepatan pengakuan masyarakat hukum adat sangat bergantung pada inisiatif Pemerintah Daerah. Dalam hal ini, Kebijakan Daerah bisa lahir melalui inisiatif Kepala Daerah atau DPRD Kabupaten/Kota.
Memperhatikan Penjelasan Pasal 67 ayat (2) UU No 41 tahun 1999 bahwa Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan,serta instansi atau pihak lain yang terkait, inisiatif yang akan dilakukan Kepala Daerah atau DPRD Kabupaten/Kota memerlukan dukungan pakar atau akademisi hukum, dan aspirasi masyarakat atau NGO (pihak lain yang terkait). Singkatnya, kesepahaman perlu adanya sinergisitas antara Kepala Daerah atau DPRD Kabupaten/Kota, akademisi, dan masyarakat atau NGO menjadi modal utamanya.
Sebagai Negara yang menganut tradisi Civil Law System, maka dalam membaca sistem hukum Indonesia haruslah berangkat dari hierarkhi perundang-undangan yang paling kuat yakni konstitusi yang diwujudkan dalam UUD 1945. Begitu pula dalam mengelaborasi pengaturan mengenai eksistensi masyarakat hukum adat dalam sistem politik hukum Indonesia, hal yang paling mudah adalah dengan pertama kali mengkaji pengaturannya dalam UUD 1945. Pasal 18 I UUD 1945 secara tersurat menyatakan pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat berserta hak asal usulnya selama masih hidup dan tidak bertentangan dengan kebijakan negara.
Begitu banyaknya kepentingan politik terkadang mengabaikan amanat yang telah ada, berbagai alasan menjadi halang rintang dalam proses Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat ini, utamanya di Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Subjek yang seharusnya dilindungi secara hukum, menjadi terabaikan.
Hingga saat ini, Pemerintah Daerah yang telah menerbitkan produk hukum Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia ada 43 berupa Keputusan Bupati dan ada 30 berupa Peraturan Daerah, serta ada 1 Peraturan Bupati.
Sedangkan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah pengajuan Perda ini sudah dilakukan sejak tahun 2013 hingga sekarang, namun belum juga dibahas dan ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.



Sumber: AMAN HST









Tidak ada komentar:

Posting Komentar